Ads

Jumat, 11 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 021

Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya berani turun dari pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha yang lembab dan dingin kotor sampai berhari-hari.

Pada suatu senja. Maya yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Go-bi yang penuh dengan selingan padang pasir luas, merasa bingung ketika melihat dari sebuah lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki bukit. Entah berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak seperti laut! Ia merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana.

Kalau dia harus menyeberangi padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengarnya dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh padang pasir itu. Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang yang kehabisan air dan persediaan makan yang kelaparan dan terutama sekali kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-limpah akan tetapi apabila didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman tinggal di tempat itu dan setiap saat siluman-siluman itu mengganggu manusia!

Maka Maya tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui pegunungan yang biarpun amat sukar ditempuh, namun setidaknya sudah dikenalnya. Sejak kecil ia sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini dikenalnya, tidak seperti padang pasir yang gundul dan mengerikan itu.

Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah ia ke barat.

Siapa kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga sampai matahari naik tinggi, belum juga ia sampai ke tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangannya dari puncak bukit.

Ia menjadi girang ketika melihat sebuah bangunan tak jauh didepan. Biarpun dia sudah lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher, namun melihat bangunan itu, Maya melupakan kelelahannya dan berjalan lagi menuruni lereng. Tentu di situlah dusun yang dilihatnya semalam dari puncak.

Akan tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi kini sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biarpun demikian, lumayan untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.

Tiba-tiba Maya cepat memasuki bangunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena hampir saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan main.

Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya, akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka berbisik-bisik.

“Benarkah dia sedang mendatangi kesini?”

“Tidak salah,” jawab yang berpakaian perwira Yucen. “Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lolos.”

“Akan tetapi yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya?” Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.

“Betul dia! Memang dia pandai menyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik sehingga tidak pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah orangnya.”






“Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah yang akan menangkapnya!” pemuda muka kuda berbisik.

Si Perwira Yucen mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur ke jalan depan kuil.

Biarpun Maya hanya dapat mengintai melalui lubang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca dan tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini berdebar tegang ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat, sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya! Apakah artinya semua itu?

Setelah derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik keras dan terdengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding. Maya menggunakan keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat persembunyian di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan mengintai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang bertanding melawan pemuda muka kuda.

Laki-laki yang memakai topi lebar itu gagah dan gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya mendapat kenyataan bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung ditangan pemuda itu

“Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau menyerangku?”

Namun pemuda muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar itu makin terdesak.

“Engkau.... engkau mengkhianati kerajaan....?”

Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya, akan tetapi pada saat itu tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan kosong karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak tangan ke depan.

“Blukk! Aiihhhh....!”

Laki-laki bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntahkan darah segar, akan tetapi masih berusaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh, goloknya menyambar ke depan dari samping.

“Crokk!”

Terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas siku!

Maya menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan seperti itu saja, dahulu ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan, setiap hari dilihatnya, bahkan yang lebih dari itu pun! Akan tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup, menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan amplop ke mulutnya.

“Crass!”

Kembali golok menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.

Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah,

“Siangkoan Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!”

Terpaksa Maya membuang muka ketika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun golok dan.... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah muncul sambil berkata,

“Bawa kepalanya!”

Perwira Yucen ini dengan muka berseri girang menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, memuji.

“Sungguh hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!”

“Aku hanya menjalankan tugas. Marilah!”

Kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, bekas pelayan murid dan juga pembantu Panglima Suma Kiat.

Dua orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa kepala yang masih meneteskan darah itu.

Entah mengapa, hati Maya tertarik sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang yang disebut Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya, tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan Lee, dan kagum menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih hendak melindungi Khu-ciangkun dan bahkan hendak memusnahkan sampul suratnya!

Dia tidak mengerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka bahkan membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang belum pernah dilihatnya. Karena itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat perkembangannya dan kalau mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya

Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, Siangkoan Lee adalah bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma Kiat. Setelah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota raja dan minggat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dan kini tanpa ragu-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak berunding dan mengatur siasat dalam, menghadapi musuh-musuhnya.

Peristiwa yang terjadi mengenai keluarga Thio dimana Menteri Kam Liong ikut campur, menambah rasa dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apalagi karena urusan itu mengakibatkan puteranya patah hati dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluarga Raja Khitan!

Kini dia mulai mengintai dan ingin sekali menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong! Akhirnya berkat kelicinannya dan penyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa kepergian seorang panglima pembantu Menteri Kam Liong yang bernama Panglima Khu Tek San, bukanlah ditugaskan menjaga tapal batas sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen dan memegang jabatan disana sebagai orang yang dipercaya oleh Pemerintah Yucen.

Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di Yucen, bekerja demi kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi, dia bekerja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!

Demikianlah, Suma Kiat lalu menugaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan agar supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya hal itu tentu akan memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan sekutunya, yaitu para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar mereka dan sudah siap-siap untuk memberontak jika ada kesempatan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar