Ads

Jumat, 11 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 024

Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri seorang wanita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung lengan Raja ke belakang tubuh dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepala itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.

“Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh!” Wanita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu membentak.

“Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga!” Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. ”Dan penukaran ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak perempuannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami tukar dengan dua puluh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!”

Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga.

“Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?”

“Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-masing sambil menanti penukaran ini!” jawab Pek-kong-to Tang Hauw Lam seenaknya.

“Bebaskan mereka”. Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.

Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.

“Ji-kun! Yang Hwa! Naik kesini!” Mutiara Hitam berteriak.

Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan gerakan indah serta ringan mereka melayang ke atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang lebih cepat lagi!

“Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam?”

Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh kagum. Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen juga terheran-heran menyaksikan bocah perempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya.

“Siapa engkau? Dan siapakah orang gagah di bawah itu?”

Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat.
“Teecu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima kasih atas pertolongan Ji-wi.”

“Ahhh....!” Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri! “Dan bocah ini....?”

“Dia adalah keponakan Sukouw sendiri, Puteri Maya....!”

“Aihhh....!”

Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya dan dipeluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih “menelikung” Raja Yucen.

“Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan kami! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?”

“Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.”

Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San, maka ia menggeleng kepala dan berkata,

“Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!”

Mutiara Hitam menghela napas panjang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirobah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponakannya, tidak banyak berbantah lagi. Hatinya masih tetap keras dan angkuh.

“Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu) Kam Liong pun sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa orang-orang Yucen tidak akan mengganggu perjalanan kalian.”

Khu Tek San memberi hormat, kemudian menggandeng tangan Maya sambil berkata,
“Marilah kita pergi!”

Keduanya melompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang membunuh kurirnya.

Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh, Mutiara Hitam melepaskan lengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya tadi. Mutiara Hitam menjura kepada raja itu dan berkata,

“Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian....”

“Ahhhh, tuduhan keji itu!” Raja Yucen membentak marah. “Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gugur! Bukan kami yang membunuhnya!”

Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam berkata,
“Siapapun yang membunuhnya, kakakku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam permusuhan dengan siapa juga, dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memusuhi kami dan memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami!”

Raja itu bersungut-sungut.
“Musuh kami hanya negara lain, bukan perorangan. Apa untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam? Asal engkau tidak mengganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa kami memusuhimu?”

“Bagus, dengan demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda dan maaf sekali lagi!”

Mutiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.

“Sialan!” Raja Yucen membanting-banting kaki. “Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada penyelesaian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung!” Raja itu mencak-mencak dan marah-marah.

**** 024 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar