Ads

Jumat, 11 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 025

Karena sudah bertemu dengan keponakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak melanjutkan perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san dimana terdapat sebuah guha besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi dimana-mana. Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya tiba di depan guha di puncak Yin-san dan melihat seorang kakek dan nenek hidung mancung telah menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek.

“Kalian siapakah? Mau apa disini?”

Mutiara Hitam membentak sambil memandang tajam. Karena sekali pandang saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia menegur dalam bahasa India.

Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu tertawa.
“Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!”

Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru,
“Wah-wah-wah, bukankah kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita di Himalaya, bukan?”

Mutiara Hitam teringat dan dia bertukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hitam berkata,

“Aihh, kebetulan sekali!”

“Heh-heh-heh!” Nenek India yang bernama Nila Dewi terkekeh.“Memang kebetulan bagi kami akan tetapi tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!”

Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berkata,
“Kami sudah mengenal guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama kalian?”

“Aku Nila Dewi dan dia ini Mahendra,” jawab Si Nenek India.

“Maksud kedatangan kalian?”

Melihat sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata,
“Wah, kami melihat sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benar-benar seperti mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!”

“Mahendra, tidak perlu banyak menjilat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat kami?”

Mahendra tertawa, akan tetapi ketawanya ini agak dipaksakan, untuk menutupi rasa gentarnya terhadap wanita sakti itu.

“Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa kehilangan murid mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu. Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti guha di puncak ini!”

Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan plintat-plintut direntang panjang itu.

“Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan kehendak kalian!”

“Mutiara Hitam, kami mencontoh perbuatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan....“

Dua orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!

“Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak tingkah!” Mutiara Hitam membentak.






“Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari gantinya dan....“

“Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara sekarang! Eh, Hitam Jangkung! Kau katakan, kalau kami tidak mau memberikan murid-murid kami, lalu bagaimana?” Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.

“Kami pun tidak memberikan tempat ini!” jawab Mahendra dan bersama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan guha.

Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik seperti dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya masih bersabar dan setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata mereka, Mutiara Hitam lalu berkata,

“Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Nah, coba kalian kalahkan kami.Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan merintangi murid-murid kami kalian bawa.”

“Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu,” kata Mahendra. “Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan pergi tanpa banyak ribut lagi.”

“Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan membetulkan. Kalau kami kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian juga harus mengorbankan sesuatu.”

“Apa?” Nila Dewi menjerit. “Kau menghendaki nyawa kami?”

“Bodoh! Kami tidak haus darah seperti kalian. Kalau kalian kalah, kalian harus membuatkan sepasang pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami, karena tukang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak sanggup.”

Mahendra tertawa.
“Wah, hebat logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagaimana pertandingan ini diatur?”

Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga mereka.

“Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sendiri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!”

Mahendra dan Nila Dewl saling pandang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan tangan kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu mencabut sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.

“Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan kosong?”

“Seorang gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mahendra. Nah, bersiaplah engkau!”

Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan guha dan mereka berhadapan. Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lututnya, merendahkan diri dan kedua tangannya dipentang lebar, pisau belati digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap keluar, ketika ia menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa permukaan pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.

“Sepasang senjata yang bagus!”

Mutiara Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan dahsyat.

Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh, pisau kirinya menangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.

Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian isterinya.

Ketika isterinya maju dan menentang untuk menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan Mahendra dengan melukainya! Padahal, isterinya sudah lama sekali merasa penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu membuatnya menjadi pedang!

Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke timur. Mereka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke timur menyusuri pantai Sungai Brahma Putera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunungan Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah suara menggelegar tak jauh di depan.

Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!

“Agaknya itulah yang disebut batu bintang!” kata Mutiara Hitam.

“Jatuh begitu saja dari langit? Sungguh luar biasa!”

Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu. Baru pada keesokan harinya, berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat.

Mereka menjadi girang dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika mereka sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua ahli pedang tidak sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih tetap keras saja!

Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang India itu adalah murid seorang diantara ahli-ahli pedang yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.

Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh, cepat gerakan sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar bergulung-gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan setiap serangannya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.

Namun, Mutiara Hitam menghadapinya dengan ketenangan yang mengagumkan. Bermacam ilmu silat tangan kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan seorang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya.

Untuk melindungi tubuhnya dari sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi dia terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya untuk mengelak. Yang menjadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.

Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan, suara melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khi-kang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.

Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan sin-kang untuk melawan gerakan suara mujijat ini, Mutiara Hitam sudah menerjangnya dan mainkan ilmu silat yang memiliki gaya tidak lumrah dahsyatnya!

Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan diantara semua ilmu silat tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!







Tidak ada komentar:

Posting Komentar