Ads

Minggu, 13 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 026

Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung, kacau-balau gerakannya ketika angin menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mutiara Hitam, Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan Kilat). Tubuhnya berkelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu, kedua tangan dan kakinya kadang-kadang menyambar secara tak terduga-duga!

“Ciaaatttt!”

Mutiara Hitam berseru, tangan kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam pisaunya hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu mengandung tenaga sin-kang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja dan ada bahayanya pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke atas.

Mutiara Hitam tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat. Dia tadi telah kena dipancing sehingga menekuk tangannya melindungi pisau, akan tetapi kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehingga seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana terjadinya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.

“Bagus! Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah!”

Mahendra membentak dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanannya. Mutiara Hitam melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau itu dan memeriksanya penuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat kuat pula.

“Mahendra, bersiaplah engkau untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk membayar taruhanmu!”

Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu menerjang lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung. Tubuh wanita itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main, namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Rontokkan Bunga) dari ketigabelas jurus ilmu silat sakti!

Mahendra berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula, lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!

“Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam!” kata kakek hitam itu penuh kagum.

Juga Nila Dewi yang mengikuti jalannya pertandingan dengan seksama mengerti bahwa dia pun bukanlah tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata,

“Kami tidak mendapat kesenangan memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati kemenangan pertandingan, biarlah kita menikmati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh. Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlumba membuatkan pedang terbagus untukmu.”

Tang Hauw Lam mengeluarkan dua butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu, mereka terbelalak dan membuat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra berkata lirih,

“Ya, Tuhan...., ini.... besi bintang putih....!”

Nila Dewi juga terbelalak, mukanya agak pucat dan ia berkata,
“Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat kehormatan membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!”

Mutiara Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemudian ia berkata,

“Apakah kalian hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari dua buah benda bola logam ini?”

“Bisa? Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu kami membuat pedang!” kata Nila Dewi.

“Benar.” Mahendra mengangguk-angguk.“Kami minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu. Betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan po-kiam, apalagi menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangan mencampuri pekerjaan kami.”






Mutiara Hitam mengangguk-angguk.
“Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya harus seperti ini!”

Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas tanah dan menerangkan modelnya, ukurannya dan lain-lain, diperlihatkan oleh dua orang India itu yang mengangguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahulah mereka pedang macam apa yang harus mereka bikin.

“Kalian boleh menggunakan dua buah guha di kiri sana itu, disana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu, akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan pedang itu?”

Mahendra dan Nila Dewi berpikir-pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung.
“Untuk mempersiapkan tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja.” kata Mahendra.

“Hemm, yang harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan dibentuk!” Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di tangannya.

“Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu” kata pula Mahendra, kemudian ia menoleh kepada Mutiara Hitam. “Kami minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam waktu seratus hari pedang ini belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.”

Mutiara Hitam menghela napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang aneh dan ia percaya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam ia pun mengharapkan agar mereka akan dapat berhasil membuat sepasang pedang yang ia idam-idamkan.

Dua buah benda putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mujijat dalam kedua benda itu, pada satu ujungnya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!

Sepasang guha yang dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari guha yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang membuat pedang itu.

Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat cahaya api dari dalam guha-guha itu. Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang itu telah pergi meninggalkan guha tanpa pamit.

“Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat?” Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.

“Benar, aku pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah logam keramat itu!” Ok Yan Hwa juga berkata.

Mutiara Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur,

“Camkanlah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan putih maupun hitam, golongan bersih maupun sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah daripada tidak memenuhi janji!”

Dua orang murid itu mundur dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin anehlah keadaan di sepasang guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu malam, terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang guha itu.

“Keparat!” Tang Hauw Lam yang biasanya bersikap gembira dan tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi “Mereka menculik anak-anak!”

Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah jeritan-jeritan itu tidak didengarnya.

“Eh, masa kita harus mendiamkan saja mereka mengganggu anak-anak? Mungkin membunuhnya!”

Mutiara Hitam menghela napas.
“Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”

“Memang tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau mereka membunuh anak-anak, tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi!”

Tang Hauw Lam yang biasanya bergembira itu sudah bangkit berdiri dan membawa goloknya, siap untuk mendatangi sepasang guha itu dan menyerbu.

“Nanti dulu, Suamiku!” Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan. “Apakah engkau mau melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”
.
“Siapa mau mencampuri? Apa hubungannya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?” Tang Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya, penasaran.

“Apakah engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang hanya dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?”

Tang Hauw Lam sejenak memandang isterinya dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya berubah pucat.

“Kau.... kau maksudkan.... anak-anak itu....?”

Mutiara Hitam mengangguk.
“Mereka itu biarpun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh melakukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku.”

Wajah Hauw Lam makin pucat.
“Kalau begitu.... pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!”

Mutiara Hitam mengangguk.
“Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka kita harus lebih waspada lagi menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminya sendiri agar tidak menimbulkan malapetaka!”

Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang guha itu dari jauh dan berteriak.

“Mahendra! Aku tidak akan mencampuri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!”

Sunyi saja sepasang guha itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaannya, terdengar suara Mahendra mengomel.

“Keparat! Dengan mengganggu samadhiku, engkau membikin aku ketinggalan sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!”

“Hanya tentang jeritan suara anak-anak semalam....”

“Pek-kong-to! Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa kuanggap bahwa engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh engkau! Di dalam guha manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang tidak terdapat pada tubuh mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah logam ini dapat dicairkan! Apa lagi?”

Tang Hauw Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil.
“Sudah cukup!”

Katanya dan ia lari kembali ke guha di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.

“Benar sekali!” Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar