Ads

Minggu, 13 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 027

“Sungguh tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang sudah dibuat, sepasang pedang yang sifatnya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita harus membasmi pedang-pedang itu!”

“Benar, kita hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi.”

Mulai hari itu, setiap hari terdengarlah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang guha, tanda bahwa dua orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua orang ini memang aneh. Mereka sesungguhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlumba tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlumba membuatkan pedang untuk Mutiara Hitam, pedang yang sama bahannya, sama bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlumba untuk membuatkan pedang yang sebagus-bagusnya!

Memang cara mereka membuat pedang dari logam putih itu amat menyeramkan. Setelah beberapa hari gagal membikin logam itu mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra menculik seorang anak perempuan sedangkan Nila Dewi menculik seorang anak laki-laki secara terpisah.

Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan Nila Dewl menculik anak laki-laki? Sebetulnya keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang “betina” dengan menggunakan darah dan tubuh serorang anak perempuan.

Demikian pula dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu akan membuat sebatang pedang “jantan” maka dia lalu membuat pedang “jantan” untuk mengalahkan saingannya itu! Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang “betina” sedangkan Nila Dewi membuat pedang “jantan”!

Anak yang mereka culik itu, mereka gantung dengan kepala di bawah, kemudian mereka mengerat urat nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam itu “dicuci” dan direndam, kemudian tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kwali besar untuk direbus bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini, logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!

Kurang lebih tiga bulan kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut mendengar suara beradunya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali. Mereka cepat meloncat keluar menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang mereka lihat?

Mahendra dan Nila Dewi sedang bertanding mati-matian mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar-nyambar. Dari jauh saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu merasai adanya getaran pengaruh mujijat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat indah buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Mahendra agak kecil sedikit.

“Aihhh.... mengapa kalian? Jangan berkelahi....!”

Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai, akan tetapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat ke belakang.

“Jangan mencampuri!” Mahendra membentak.“Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!”

“Manusia sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu yang sombong!” Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.

“Cring-sing-tranggg....!”

Bunga api berhamburan menyilaukan mata dan kedua pedang itu terpental setiap kali bertemu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.

“Celaka...., tahan....!” Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.

“Trang-trangggg.... aiihhh....!”

Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika goloknya tertangkis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetot oleh dua tenaga bertentangan yang amat kuat.






Mutiara Hitam juga menerjang maju, kini pedang Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga ketika ia menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan tetapi, kembali sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mujijat dan kerja sama yang mengherankan.

“Trak-trakkk!”

Juga Mutiara Hitam menghadapi kenyataan mujijat karena pedangnya yang jarang menemui tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang yang sinarnya seperti kilat itu!

Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya,
“Kalau mereka sudah gila untuk saling bunuh, biarkanlah!”

Dan memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau dibiarkan saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau tidak dipisahkan, mereka berdua membalik dan mengeroyok lawan yang mengganggu mereka! Tentu saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk menghentikan pertandingan mereka!

Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini memandang pertandingan dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu. Selama ini kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara guru mereka tentang sepasang pedang yang sedang dibuat secara aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali memiliki pedang yang luar biasa itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang itu jadi, melihat sinar pedang seperti kilat, mereka makin kagum.

Pertandingan Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang berbahaya sekali. Mutiara Hitam dan suaminya maklum bahwa seorang diantara mereka tentu akan roboh terluka, akan tetapi karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis berkerut.

“Cringggg!” sepasang pedang itu bertemu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan.... “Blesss....! Blesss....!”

Pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya pedang wanita itu menembus dada Mahendra. Keduanya terhuyung, melepaskan pedang masing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke kanan kiri!

“Gila!”

Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.

Mahendra memandang Mutiara Hitam dan tertawa!
“Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah rampung, Mutiara Hitam! Sepasang Pedang Iblis! Disempurnakan dengan rendaman darah kami sendiri. Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!”

Nila Dewi terbelalak dan juga tertawa.
“Mahendra, kita berdua akan hidup terus dalam sepasang pedang ini. Sepasang Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu bersaing.... ha-ha!”

Biarpun Mutiara Hitam dan Pek-kong-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak hal-hal aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada pedang “jantan” yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan kepada pedang “betina” yang menancap di dada Nila Dewi.

“Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu?” Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan perasaan jijik.“Tak enak rasanya memegang kedua pedang itu.”

Mutiara Hitam mengangkat muka memandang suaminya.
“Apa? Engkau.... takut?”

Suaminya tersenyum.
“Takut sih tidak, hanya.... hemm, ngeri!” Ia memandang kepada dua mayat itu. “Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!”

“Tidak baik begitu!” Mutiara Hitam mencela. “Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?”

“Apa....? Kau sebatang dan aku sebatang? Jangan-jangan setelah kita berdua masing-masing menyimpan sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka.” Hauw Lam menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyang tangan.

“Tahyul!” Mutiara Hitam mencela. “Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan. Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya.”

Mutiara Hitam lalu mencabut sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.

“Benar-benar Sepasang Pedang Iblis yang suka minum darah.... !”

Tang Hauw Lam berseru dengan muka pucat. Ternyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan dada yang terluka dan ditembus pedang itu pun tidak berdarah, seolah-olah semua darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!

“Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan harus disingkirkan!” Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba ia membentak dua orang murid yang datang mandekat, “Ho, kalian mau apa?”

“Subo, berikan pedang betina kepada tecu!” kata Ok Yan Hwa.

“Dan yang Jantan untuk teecu, Subo!” kata pula Can Ji Kun.

Dua orang suami isteri itu saling pandang.
“Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?” Kemudian Mutiara Hitam berkata untuk membantah sendiri ketahyulannya terhadap sifat sepasang pedang itu.“Karena baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lubang-lubang dan hawa panas oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya menghisap.”

Betapapun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan halus, bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang berbeda sedikit besarnya. Ia mempertemukan ujung pedang yang runcing dan.... kedua pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba-tiba ada kekuatan aneh yang membuat gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.

“Hemm, mengandung sembrani yang kuat....“ katanya perlahan.

Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa kematian dua orang India itu.

Tang Hauw Lam yang amat bijaksana dan amat mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya berubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan. Isterinya sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan melihat matanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu secara sembunyi-sembunyi suka menangis.

Pada suatu hari, selagi mereka beristirahat di atas lereng dan mereka membiarkan dua orang murid bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk mendampingi isterinya dan berkata lirih.

“Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapakah?”

Kwi Lan yang seperti orang termenung itu, menoleh kepada suaminya dan berkata singkat,

“Tidak apa-apa.”

Hauw Lam menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih.
“Kita telah menjadi suami isteri selama belasan tahun, setiap hari kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tubuhku sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu. Engkau membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen, melainkan bangsa Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak kembarmu, bukan? Kedukaan yang membuat engkau menjadi dingin, tak pedulian, kejam....“







Tidak ada komentar:

Posting Komentar