Ads

Minggu, 13 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 028

Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.

“Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko....? Aihh.... l”

Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan isterinya menangis sepuasnya untuk memberi jalan keluar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.

“Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bukan?”

Kembali Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak sepasang matanya memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia melihat betapa suaminya memandang kepadanya penuh pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.

“Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa menjadi gila dikejar-kejar dendam. Aku..., aku harus membalas dendam lni, aku harus membunuh Raja Mongoll”

Tang Hauw Lam menarik napas, kemudian berkata suaranya penuh kedukaan.
“Aku mengerti, Isteriku. Biarpun keputusan hatimu Ini sebenarnya keliru, namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu betul apa yang terjadi dalam hatimu.”

Mutiara Hitam merangkul suaminya.
“Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau begini penuh pengertian terhadap aku, penuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh, lam-ko... akan tetapi, kalau aku tidak membalas dendam kematian kakakku, agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu digoda bayangan Kakak Talibu yang menuntut dlbalaskan kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa selama beberapa malam ini... didatangi bayangan Kakak Talibu.... “ Mutiara Hitam menangis lagi terisak-isak.

Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali. Dia mengerti bahwa memang ikatan batin dan lkatan getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka Ia mengeraskan hatinya dan bertanya.

“Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang katakanlah terus terang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang selama ini kau tahan-tahan dan kau tekan-tekan?”

Mutiara Hitam menyusut air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini seperti biasa, tenang dan penuh kesungguhan.

“Lam-ko, aku lngin pergi ke Mongol dan membunuh Raja Mongol”

Biarpun jantung Hauw Lam berdebar karena maklum bahwa hal itu sama saja artinya dengan membunuh diri, namun ia mengangguk dan berkata,

“Baik sekali! Kapan kita berangkat, aku siap, Isteriku.”

“Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang.kepadamu, Lamko. Aku harus pergi sendiri!”

Berkerut sepasang alis Tang Hauw Lam ketika ia memandang tajam wajah lsterinya.
“Mengapa demikian, .Lan-moi?”

“Urusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan api!”






Tang Hauw Lam tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitaml Apa kau kira aku ini orang yang takut mati?”

“Jangan berkelakar. Lam-ko. Dalam urusan lain, tentu saja aku lebih suka sehidup semati di sampingmu. Akan tetapi urusan ini lain lagi, ini merupakan urusan pribadi bagiku dan aku tidak mau menarik dirimu menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku juga menjadi korban dalam urusan ini. Selain itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap engkau suka memenuhi permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku akan berterima kasih sekali kepadamu.”

“Kwi Lan.... !”

Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya tidak main-main dan sudah mengambil keputusan tetap yang takkan dapat dirubah lagi.

Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang.
“Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagi aku akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak di sebelah utara kota raja Khitan, kau ingat tempat yang dlsediakan untuk menjadi tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas? Nah, kau tunggulah aku disana bersama dua orang murid dan semua kitab-kitabku, juga Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesai tugasku di Mongol dan aku dapat keluar dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., andaikata aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kau pimpin baik-baik kedua orang murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, Suamiku.”

“Lan-moi....”

Sekali Ini .Hauw Lam yang mencucurkan alr mata. Semalam itu suami isteri ini mencurahkan kasih sayang sepenuhnya karena mereka merasa di dalam hati bahwa mungkin sekali mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan kali!

Pada keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu meninggalkan pesan.

“Aku mau pergi, mungkin lama sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati semua perintah suhu kalian, belajar dengan tekun dan rajin sehingga kelak dapat menjadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jangan membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian, kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan kalau aku sudah mati, arwahku yang akan menghukum kalian. Mengerti?”

Dua orang murid itu mengangguk-angguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah mendengar bahwa subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembali. Setelah berpelukan untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata hanya sinar mata mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan hidup ataupun mati mereka pasti akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!

Tang Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang tercinta itu. Merantau ke negeri jauh berdua, menghadapi bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka selalu berdua dan bersatu hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang amat berbahaya! Lemah seluruh tubuhnya dan kalau di situ tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini akan menangis menggerung-gerung.

Dia lalu mengajak kedua muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju ke Bukit Merak di Khitan.

Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam. Matahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia tidak pernah mengeluh di depan kedua orang muridnya.

Setelah tiba di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun, akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang malam akan kembalinya Mutiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang jauh, kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus sekali dan wajahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah? Masih hidupkah isterinya? Ataukah sudah tewas?

Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka ini adalah seorang yang gembira selalu, tidak pernah marah, maka mereka itu amat manja terhadap suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam.

Di bawah asuhan suami isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari Hauw Lam mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan, adapun dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan tekanan agar rajin dan mengenal disiplin.

Kini setelah Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biarpun mereka masih tekun belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka. Hal ini adalah karena Tang Hauw Lam Juga sudah seperti sebuah arca, kehilangan semangatnya sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu silat.

Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan melakukan tugas yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharap-harapkan.

**** 028 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar