Ads

Minggu, 13 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 029

“Mengapa Paduka tidak suka ikut bersama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan ikut beliau, Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat tinggi yang dimiliki pendekar sakti Mutiara Hitam?”

Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.

Maya menarik napas panjang.
“Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya, aku bukanlah puteri Khitan asli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Mereka tidak mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah, maka aku tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan keponakan sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman Khu.”

Khu Tek San mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi, anak sendiri ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.

“Baiklah, Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai keponakanku. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu, adalah benteng bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Setelah bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang kuda.”

Berangkatlah mereka berdua dan karena biarpun baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian lumayan, apalagi setelah ia makan buah-buah merah yang biarpun kini khasiatnya sudah banyak berkurang namun telah mempertinggi gin-kangnya, maka perjalanan itu dapat dilakukan cepat.

Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara dan agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu ketahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!

Mereka melewatkan malam di lereng bukit dan pada keesokan harinya, sebelum tengah hari mereka telah tiba di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia mengajak Maya untuk mempercepat jalannya. Gembira hatinya akan bertemu dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi rekan-rekannya.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat penjagaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa orang panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap keren, bahkan seorang panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.

“Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!” Panglima itu lalu memberi perintah kepada anak buahnya. “Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!”

“Apa artinya ini....?” Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri!

“Hemmm, Khu Tek San! Apakah engkau hendak memberontak pula, melawan pasukan negara?”

Tanya panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka melakukan tugas ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap, dengan wajah murung.

“Aku tidak akan melawan. Silahkan!”

Khu Tek San memberikan kedua lengannya yang segera dibelenggu dengan belenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San dengan mata terbelalak tidak melawan ketika kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm, agaknya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San. Kemudian ia memandang kepada tiga orang panglima itu dan berkata lantang.

“Ong Ki Bu, Cong Hai dan engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal sepak terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?”

Sejenak tiga orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi besar itu, berkata,

“Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaati perintah atasan! Engkau dituduh telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena itu, kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!”






“Apa....?” Khu Tek San membentak marah. “Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apapun juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang panglima baru akan menjalani hukuman setelah diperiksa di pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?”

Kembali tiga orang panglima itu kelihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara serak dan terpaksa Ong Ki Bu berkata,

“Semua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San, melainkan atas perintah.”

“Atas perintah siapa? Apakah Hong Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah dari Kaisar!”

“Kaisar tidak mengurus hal-hal ketentaraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?” jawab Ong Ki Bu yang agaknya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar segera selesai. “Kalau engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah!”

Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan membaca dengan suara lantang.

“Karena sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhianatan terhadap negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal batas, untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia ditangkap!”

Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun tidak kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan penasaran dan amarah.

“Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini, Ong-ciangkun?”

“Perintah atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah untuk menjalani hukuman gantung,” Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buahnya dan menunjuk ke depan.

Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon bahkan telah tersedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan tetapi ia mengenal betul tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang gagah dan taat sehingga tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mencelakakan dirinya. Yang benar tentulah yang menjatuhkan perintah ini!

“Paman, kurasa ini pun hasil perbuatan manusia bernama Siangkoan Lee itu....“

Tiba-tiba Maya berbisik. Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.

“Benar....! Kau benar....!”

Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya diantara rantai belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lantang.

“Aku Khu Tek San, sebagai seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan bunyi perintah dan karena tidak diadakan pengadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri. Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas rekan yang baik, sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam Liong!”

“Permintaanmu kuterima, Khu Tek San!” Terdengar Ong-ciangkun mengguntur. “Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!”

Khu Tek San tersenyum dan wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu.

“Terima kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong, juga terima kasih karena sikapmu ini membuktikan bahwa Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!”

Khu Tek San melangkah maju menghampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak, bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!

Seorang perajurit yang menerima perintah, sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk menarik ujung tali dari belakang batang pohon bersama tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka lebar, siap menerima datangnya maut.

“Siaaappp!”

Terdengar aba-aba, lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lubang gantungan akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.

“Krekkk!”

Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San! Semua orang terheran lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi, Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri terkejut sekali melihat betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di situ terdapat banyak orang pandai!

Melihat pemuda itu jelas datang hendak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang, karena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan melawan perintah atasan, Maka ia berseru.

“Hei, Enghiong muda yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan ketentaraan! Aku Khu Tek San dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan mencampurinya?”

Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan biarpun menghadapi pasukan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang saja.

“Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi, yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, melainkan hukum rimba! Dimana ada aturannya seorang panglima yang sudah banyak jasanya seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung di dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang melakukan tugas rendah ini?”

“Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukuman ini. Engkau siapa?”

Pemuda itu melayang turun, gerakannya ringan dan indah ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan tersenyum tenang!.

“Aku bernama Kam Han Ki....”

“Ohhh....!”

Khu Tek San tak dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja ia mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang semenjak kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang tahu-taru muncul di situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani menentang pasukan bala tentara Sung!

“Kami melaksanakan hukuman atas perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani mengatakan hukum rimba?” Ong Ki Bu membentak marah.

“Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima adalah orang-orang gagah perkasa seperti Khu-ciangkun, yang setia akan tugas dan melaksanakan perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kau perlihatkan, atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu-ciangkun? Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar