Ads

Senin, 14 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 031

Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di atas sebuah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah serombongan piauwsu yang mengawal barang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi huruf “Gin-to Piauw-kiok” (Perusahaan Pengawal Golok Perak).

Melihat datangnya tiga orang penungang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik. Panglima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu “Golok Perak”, maka ia cepat menjura dan berkata,

“Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?”

Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa, sedangkan Kam Han Ki biarpun membawa pedang di punggungnya namun kelihatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggauta perampok, apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,

“Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke manakah?”

Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama “Istana kaisar” untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersenyum dan berkata,

“Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!”

Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas,
“Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.”

Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya.

“Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?”

“Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!" Pimpinan piauwsui itu berseru heran. "Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang diantara puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja YucenT”

“Ouhhh....!”

“Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah.....”

Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.

“Ahhh...., tidak apa-apa....“ Han Ki berkata, ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat. “Mari.... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!”

Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata,

“Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan barang-barang ini sampai ke istana. Sebaiknya kita melakukan perjalanan bersama mereka.”






Alasan itu kuat sekali dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk. Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuaan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.

Di sepanjang perjalanan, Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapa dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang “dibencinya” itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya!

Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki. Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air.

Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak olehh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya.

Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki. Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain.

Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguhpun tak permah ia dapat melihat air matanya.

Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung Menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya.

Hong Kwi, kekasihnya itu, akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.

Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam.

Kini, Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah berduka dan putus harapan.

Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka, wajahnya selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini, melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir!

Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begitu bersedih dan untuk bertanya, dia tidak berani.

Sebagai seorang yang berpengalarman, Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidak senangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.

Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang besar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang diantara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.

Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari guha dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon.

Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setelah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih membiru. Hawa udara malam itu amat dingin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api unggun di dalam guha. Namun, Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sin-kang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.

Biarpun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biarpun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala bahaya.

“Paman Han Ki....”

Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak “percekcokan” mereka dahulu, gadis cantik itu tidak permah menegurnya, bahkan tidak permah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!

“Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.

Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.

“Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!”

Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap seorang puteranya, dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus.

“Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kau makan sendiri!”

Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan. Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.

“Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur, wajahmu pucat tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?”

Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya-tanya tentang urusan yang menjadi rahasia hatinya! Kalau dia ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!

“Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya dengan dirimu!” la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam guha.

“Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada menangis, lebih baik tertawa! Daripada berduka, lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!”

Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.

“Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah berpendapat sedalam itu??”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar