Ads

Kamis, 17 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 038

Dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.

Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu.

Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya.

Coa-bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.

Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik!

Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik laki-laki maupun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!

Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biarpun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang menentang permerintah pada waktu itu.

Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur, untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat.

Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-vang-kauw.

Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang armat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.

Tuan rumah Coa-bengcu sendiri, telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan.

Isteri Bengcu, seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan melainkan seorang murid Hoa-san-pai, duduk di samping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan itu.

Adapun putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu, yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan.

Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan yang cekatan sekali.






Biarpun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coa-bengcu.

Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,

“Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengcu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”

Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, Tho-te-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”

Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.

“Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.

Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?

“Apa.... apa maksudmu ini?”

Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.

Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,
“Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!”

Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malalkat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira She Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!

Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata,

“Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.”

Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik,

“Mereka menanti jawaban!”

Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada.

“Ha-ha-ha, sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?”

“Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!” Kata Si Tahi Lalat.

Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.

“Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bermama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”

Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum.

“Sungguh merupakan hadiah yang tak termilai harganya!” katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan....? Puteri Panglima Khu....?”

Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras.
“Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!”

Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.

“Puteri Khitan itu patut dibunuh!”

Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.

“Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di kalangan kamil”

Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.

“Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!” teriak yang lain.

“Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain.

Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.

Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana mereda terdengarlah suaranya lantang,

“Aku mengerti apa yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar