Ads

Kamis, 17 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 037

“Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting” Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar! “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan keluar yang Menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”

Han Ki terbelalak.
“Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!”

“Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguhpun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku.... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu daripada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!”

Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran akan tetapi harus ia akui bahwa “nasihat” Maya itu cocok benar dengan isi hatinya!

“Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”

Maya bertolak pinggang.
“Koko engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kau temani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan, Adik Siauw Bwee?”

Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang.
“Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!”

Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.

“Awas dia! Kalau bertemu lagi denganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.

“Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.

“Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya mendengus marah. “Mari kita pergi, Siauw Bwee.”

Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak.

Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali, akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga.

Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen! Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu. Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata,

“Anak-anak setan kalian hendak kemana? Hayo ikut bersama kami!”

Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Maya mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.

“Buk! Bukk!”

Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jembatan melemparkannya ke sungai!






Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jembatan telah menanti dua orang laki-laki diatas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh mereka.

“Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha-ha-ha!”

Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua orang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu!

Malam gelap, perahu gelap dan mereka tidak dapat melihat muka dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan.

Setelah malam berganti pagi, barulah kedua orang anak perempuan itu dapat melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.

“Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”

Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,

“Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.”

Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata.

“Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini mermbantu kerajaan asing?”

“Kau anak kecil tahu apa!!”

Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.

“Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim.” Maya melanjutkan.

Si Tahi Lalat kini berkata
“Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi permerintah Sung? Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”

Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek

“Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”

Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih tajam daripada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.

“Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning.

“Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.”

Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus.

“Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?” tanyanya menyeringai.

Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri.

“Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin kami dapat menang.”

“Kami pun tidak suka membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!”

Maya mengangguk-angguk.
“Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kau bawa ke manakah?”

“Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai kalian dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan sumbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”

“Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.

“Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.”

“Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?”

Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata,

“Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kalian berdua tidak akan lancang menawan kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.”

Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh perhatian.
“Siapakah kalian ini?”

“Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!”

Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya.

Dua orang itu kelihatan kaget sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.
“Kami hanya melakukan perintah!”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar