Maya segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tata susila istana, dermikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
“Siauw Bwee.... !”
Khu Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang,
“Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!”
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.
“Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas,pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil tertawa Kaisar berkata.
“Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah apel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini.”
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi sungguhpun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapapun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab.
“Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadl panglima disana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu.
Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”
Panglima Besar Yucen tertawa.
“Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?”
Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung.
“Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini!”
Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!
Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sinkang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.
Memang dermikianlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak memegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata,
“Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola-besi ini sesungguhnya!”
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata.
“Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belurm dibicarakan selesai.”
Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya Itu.
Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall. Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.
Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas.
Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana....?”
Dalam perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”
“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum.
“Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko.” Maya berseru girang.
“Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya.
“Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir....”
“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?”
Maya mengangguk.
“Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!”
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak,
“Engkau tahu apa?”
Maya tersenyum.
“Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!”
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik.
“Maya! Dari mana kau tahu??”
Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
“Siauw Bwee.... !”
Khu Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang,
“Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!”
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.
“Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas,pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil tertawa Kaisar berkata.
“Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah apel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini.”
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi sungguhpun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapapun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab.
“Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadl panglima disana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu.
Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”
Panglima Besar Yucen tertawa.
“Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?”
Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung.
“Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini!”
Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!
Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sinkang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.
Memang dermikianlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak memegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata,
“Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola-besi ini sesungguhnya!”
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata.
“Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belurm dibicarakan selesai.”
Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya Itu.
Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall. Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.
Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas.
Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana....?”
Dalam perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”
“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum.
“Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko.” Maya berseru girang.
“Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya.
“Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir....”
“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?”
Maya mengangguk.
“Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!”
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak,
“Engkau tahu apa?”
Maya tersenyum.
“Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!”
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik.
“Maya! Dari mana kau tahu??”
Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar