Ads

Senin, 04 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 109

Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat.

Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan, kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!

Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasuki perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?

Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suhengnya masih berada di sana? Dan sumoirya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoinya itu pun berada di sana?

Teringat akan suhengnya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita!

Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!

"Maya...."

Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,

"Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?"

"Maya.... aku.... aku...." Ji Kun menggagap.

Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya "li-ciangkun".

"Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!"

Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata,

"Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kau anggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?"

Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga kemana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab,

"Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu."

"Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh, semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!"






Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras,

"Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kau kira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kepadaku?"

"Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!"

"Sudahlah!" Maya berkata jengkel. "Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?"

"Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?" Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!

Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak,
"Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!"

"Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...."

"Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!"

"Maya.... apakah.... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?"

Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya,

"Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!"

Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah.

"Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!"

Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,

"Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"

Ji Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.

Betapapun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu.

Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.

Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya!

Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!

Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.

"Cring-cring....!"

Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.

"Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!" bentak Maya.

"Aku harus membunuhnya!" Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.

"Perempuan sombong, kau kira begitu mudah?" Ji Kun balas membentak.

"Tranggg.....!" Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.

"Berhenti kataku!"

Maya menerjang lagi diantara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.

"Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!"

Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.

"Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi."

Yan Hwa menarik napas panjang.
"Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf."

Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata,

"Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, dimana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!"

"Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."

"Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati."

"Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar