Ads

Senin, 04 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 110

Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa.

Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu!

Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi diantara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan menggertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu!

Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?

Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya.

Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si penggembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!

Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh, karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka!

Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.

Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan.

Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat. Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.

Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan gelap nenutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.

Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan.

Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu!

Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah.






Akan tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala liar yang langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala, tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau.

Lebih lagi karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaan pasukannya. Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.

"Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!"

Bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di atas kudanya ke depan.

Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok. Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat.

Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya.

Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling berlumba, berbanyak-banyakan membabat musuh!

Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan lawan untuk membantu barisan Mancu.

"Bala bantuan datang!"

Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar tidak berani mendekati mereka.

Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadaan yang membahayakan sekali!

Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak diantara mereka tewas sehingga jumlah mereka kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.

Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee.

Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah,

"Apakah kalian bertiga sudah menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"

Ong Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata,

"Suma Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"

Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu.

Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.

"Krekkkk! Desss!"

Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!

"Hayo kalian berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!"

Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat Ong Ki Bu.

Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu.

Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.

Akan tetapi biarpun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini, Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara dahsyat.

"Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!"

Can Ji Kun ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya dan hanya selisih beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.

"Trang-trang....!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar