Ads

Selasa, 05 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 111

Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,

"Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"

"Buka telingamu lebar-lebar!" Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. "Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!"

Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas. Matanya melotot dan ia membentak,

"Kebetulan sekali! Aku tidak berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!"

Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.

"Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup darahmu!"

Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya sambil balas menyerang karena diantara kedua orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah dulu!

Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa.

Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang mengandung hawa mujijat yang mengerikan!

Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para perajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat.

Kini keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang Yan Hwa.

Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri.

Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.

"Trangggg....!"

Tubuh Suma Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.

"Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?" bentaknya.






Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat.
"Benar, akulah Maya. Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan Yucen?"

Suma Kiat membelalakkan matanya.
"Engkau....? Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?" Diam-diam ia bergidik.

Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam!

Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu!

Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya sudah tidak dapat membebaskan diri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.

"Persetan kalian! Mampuslah!" Kedua tangan panglima ini bergerak.

"Awas jarum berbisa!"

Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri Kwa-huciang.

"Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!"

Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.

"Biar kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih baik tangkap dia!" Ia menuding ke depan.

Maya baru teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas ubun-ubun!

"Ci Goat! Lee-ji! Mundur kesini!"

Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.

"Pengecut besar!" Maya berseru. "Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima macam apa engkau ini?"

Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah.
"Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"

"Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!" Pangeran Bharigan yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, "Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"

Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak,

"Tahan!"

Kedua orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata,

"Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?"

"Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kau kehendaki?"

"Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki sifat kegagahan!"

"Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku. Apakah engkau sekarang dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?"

"Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!"

"Ha-ha-ha! Maya, engkau membela mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan! Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya? Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri...."

"Keparat busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!" Pangeran Bharigan membentak marah sekali.

"Suma Kiat, bagaimana?" Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.

"Ha-ha-ha, baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!"

Suma Kiat melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.

"Trang-tranggg....!"

"Ehhh! Engkau.... melindungi dan membela dia?"

Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak. Maya menyarungkan kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan menghalang tadi, menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.

"Tidak, aku tidak membela dia melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji sendiri? Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah perkasa?"

Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak hal, Maya ini menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.

"Heiii! Tahan senjata! Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!"

Pangeran Bharigan berseru dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,

"Panglima Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!"

Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekali tidak menyembunyikan perasaan di hati pangeran itu terhadap dirinya!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar