Ads

Selasa, 05 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 112

Kemenangan besar di hari itu disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh Pangeran Bharigan sendiri!

Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia mengepalai laksaan perajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu, diangkat menjadi penasihat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang yang berkepandaian.

Karena memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada Pemerintah Sung, kepada bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya. Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.

Raja Mancu yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini, berlaku cerdik dan bijaksana. Maya dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan menghadapi pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah mengetahui riwayat Maya.

Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara Mancu menjadi kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.

Biarpun kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja ia menderita rindu kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi hal-hal yang memusingkan hatinya.

Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja!

Akan tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang dengan senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk "memanaskan" hati Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.

Akan tetapi, hal itu tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya!

Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terang-terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!

"Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar. Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi negara besar!"

Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.

Maya menghela napas panjang.
"Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan cinta kasihmu terhadap aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah sekarang kita telah bekerja sama? Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak."

"Apakah.... apakah tidak ada cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?"

Pertanyaan Pangeran itu yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan membuat kedua pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.






"Pangeran, maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si penggembala domba dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan, budiman, berkedudukan tinggi, pendeknya, tiada cacad celanya bagi seorang gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran."

Wajah yang tampan itu menjadi muram.
"Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta pria lain?"

Maya mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan jujur,

"Benar, Pangeran."

Pangeran Bharigan menghela napas panjang.
"Aihhh, betapa bahagianya pria itu...."

Di dalam suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan dara ini berkata,

"Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku."

Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal tinju.
"Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia itu orang gila!"

"Pangeran!"

"Maafkan aku, Maya....!" Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri bergembira sambil berkata, "Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia, dan.... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya."

Biarpun semenjak saat itu sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung, teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suhengnya dan juga gurunya yang amat dicintanya.

Pada suatu hari, selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya, membicarakan pergerakan bala tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat!

Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir. Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!

Perwira itu berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar menahan marah ketika ia membentak,

"Kubur kepala itu dengan upacara kebesaran!"

Perwira itu pergi dan Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram,

"Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah kepada kita!"

Seorang perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu berantakan. Juga Panglima Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.

"Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!" kata Maya dengan marah.

"Aih, menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja. Tidak perlu engkau merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya."

Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya.

"Kalau begitu, aku akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk menghancurkan pasukan Yucen."

Pangeran Bharigan mengangguk,
"Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlumba membunuh musuh itu maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis."

Dia tersenyum puas karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun kedudukan mereka sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu seakan-akan berlumba, berbanyak-banyak minum darah musuh!

Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri dan pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)!

Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh.

Begitu menerima perintah, Ji Kun dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil bernyanyi-nyanyi.

Setelah tiba di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru. Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan golok pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah mulai membasahi rumput dan tanah.

Ji Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka berubah menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit seorang lawan yang roboh binasa.

Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban mereka.

Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama sekali menyaksikan pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.

Akan tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlumba dengan telapak tangan kirinya.

Setiap sabetan atau tusukan pedang sama mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau dada seorang perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau perajurit, akan tetapi agaknya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini muncul.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar