Ads

Selasa, 05 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 113

Laki-laki muda rupawan ini bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu yang dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas kekasihnya itu.

Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah yang memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.

Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah. Seperti berlumba mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu mengamuk.

Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka, menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan.

Melihat sinar pedang yang mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu, bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu.

Yang menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu, pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.

Adapun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka, terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki itu mencelat ke belakang.

"Sumoi, mari kita lihat siapa diantara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!"

"Ah, sukar menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!"

Han Ki mengerutkan keningnya dan berkata,
"Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian lumayan, namun berwatak tinggi hati. Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak meningkatkan akhlak kalian."

Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak,

"Setan sombong! Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul engkau mencaci guru kami, keparat!"

"Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka mulut besar!"

Benar saja, Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena Mutiara Hitam adalah piauw-cinya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya mendalam.

"Bagus! Kiranya kalian murid Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!"

"Jahanam bermulut kotor!" Yan Hwa kembali memaki, "Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...."

"Buka matamu lebar-lebar!" Han Ki memotong. "Apakah pakaianku seperti perajurit? Tidak, aku tidak membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan Yucen sekalipun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran kepada kalian bocah-bocah murtad!"






"Sombong!"

Ji Kun sudah menerjang lagi dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan pedangnya.

Para perajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan mundur di belakang "jago" masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.

Tadi, ketika kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid piauw-cinya.

Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan bahwa mereka menjadi Panglima-panglima Mancu. Kalau benar murid piauw-cinya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat, sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat!

Melihat permainan ilmu pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga sin-kang yang amat kuat, dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin membunuh dua orang murid piauw-cinya ini.

"Kalian murid-murid murtad!"

Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur, menurunkan pedang dan "membuka" pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!

Tadi, setiap kali ia menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat sin-kangnya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan kekuatan sin-kang yang amat luar biasa, selalu menarik kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga sin-kang. Kini, melihat pancingannya berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

"Trakkk!"

Dua batang Pedang Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang mereka. Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat.

Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya dari Yan Hwa.

Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga sudah menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.

Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mujijat yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!

Namun Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis itu dia menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang sambil kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.

"Trak-trakk.... plak-plak!"

Kedua orang murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak dapat dielakkan lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main karena tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan.

Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!

Han Ki yang berhasil merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.

"Hemmm, sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki senjata-senjata yang begini keji!" Ia berkata.

Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya,

"Siapakah.... siapakah engkau?"

"Orang-orang murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak Mutiara Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku."

Kedua orang muda itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek Siansu, berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan teringat akan guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.

"Mohon Susiok sudi memaafkan. Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas kehancuran Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!"

Kam Han Ki menarik napas panjang.
"Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini? Kalian boleh pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang iblis ini."

"Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!"

Mendengar ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata itu.

"Apa? Benarkah itu?"

"Sumoi tidak membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu berdua."

Han Ki menghela napas dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu.
"Baiklah, sebetulnya baik buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini, pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi nama gurumu, karena kalau kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar