Ads

Selasa, 05 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 114

Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati karena kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.

Pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan istimewa yang terlatih, rata-rata perajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya.

Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang ganas dan pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya.

Perang yang terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur. Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan biarpun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya, namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging.

Hujan senjata pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek, kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecawaan hatinya, segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya, merobohkan siapa saja yang menentangnya.

Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi pengamukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke tempat yang sudah dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin perajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya.

Han Ki tidak tahu akan jebakan ini maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang ditutupi ranting dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.

"Cring-tranggg.... brettt!"

Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus. Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya.

Dengan marah ia meraih dengan tangan kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak, terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati jaring yang menyelimutinya.

Akan tetapi baru saja ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru, anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang mengandung api!

Bukan main berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han Ki yang sudah lelah sekali itu memutar pedangnya melindungi tubuh. Ia maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan berhenti dan akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang menghujamkan anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah berikutnya, pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di sebelah kirinya.






Han Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apalagi karena pihak Mancu harus menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biarpun tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun pengamukan pemuda sakti itu terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.

Perang diantara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia sudah tidak mengamuk lagi. Apalagi mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya awut-awutan, seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.

Namun, tidak ada yang berani mendekatinya biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu. Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda itu kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan dan belakang dan.... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang. Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.

Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai tenaganya habis!

Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya, pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang perajurit Yucen! Dia membunuhi manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.

"Ya Tuhan...., apakah yang telah kulakukan tadi....?"

Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah berapa ratus atau berapa ribu orang!

Teringat akan semua perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki, apalagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasihat gurunya sehingga dia sampai melakukan pembunuhan besar-besaran ini?

Tiba-tiba ia mendengar derap banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir tadi.

Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak diserang orang, bahkan dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata diserang orang sekalipun belum tentu dia mau membela diri.

"Suheng....!"

Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.

"Suheng....!"

Han Ki membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Seorang wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.

"Maya-sumoi....!" Han Ki tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar Mancu. "Kau.... kau seorang Panglima Mancu?"

"Aihh, Suheng. Kiranya engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah, Suheng, mana mungkin ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah mengakibatkan kehancuran Khitan? Suheng...."

"Diam!" Han Ki membentak marah lalu bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan perajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan pribadi.... aku.... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan tetapi engkau.... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah, sekarang engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa? Mau menangkapku? Membunuhku?"

"Suheng....!"

Maya bangkit pula berdiri dan mukanya pucat sekali.
"Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku? Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku.... aku bukan gila kedudukan. Aku.... aku menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita, Suheng...."

Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak.
"Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kau tinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."

Maya mengerutkan keningnya menjawab perlahan,
"Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi diantara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita kemana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa depan kita."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar