Ads

Rabu, 06 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 118

Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput dengan selamat.

Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sernpat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah depan.

Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.

"Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!" Im-yang Seng-cu berkata, "Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku kesana!"

Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat.

Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.

Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya.

Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,

"Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"

Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telan insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw.

Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.

Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang ringan, mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,

"Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"

Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,

"Anak buah Beng-kauw yang kau pimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang asli. Bagaimana?"

Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut.
"Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"

Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa,
"Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kau bawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"






"Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!"

Bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.

"Cringgg! Tranggg!"

Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!

Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid ke dua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat.

Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu.

Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan diantara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.

Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng.

Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah.

Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang lebih.

Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh jebakan.

"Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka....!"

Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya.

Apalagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang.

Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

"Bibi.... awaaasss....!"

Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!

"Moi-moi, turun....!"

Siang Kui berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawah.

"Cici....!"

Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?

Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.

"Desss!"

Biarpun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.

Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya,

"Bagaimana?"

Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku, berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun.

Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat dimana Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.

"Bibi....! Bibi....!"

Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.

"Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?"

Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.

"Bibi....!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar