Ads

Rabu, 06 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 119

Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan orang itu.

"Bi....!"

Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!

Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.

"Takkk!"

Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.

Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!

"Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?"

Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan. Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.

"Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!" Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.

"Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar dan kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus."

Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!

Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata,

"Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."

Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Di dalam perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin.

Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu.

Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam cerita "Mutiara Hitam" kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu.

Biarpun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal. Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh.






Karena itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!

"Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?"

Suma Hoat cepat menjawab,
"Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."

"Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma Hoat, coba kau serang dengan seluruh kepandaian yang kau miliki!"

Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata,

"Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu." Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.

"Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?"

"Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu," kata Im-yang Seng-cu.

Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas.

"Kau betul! Mari kita kejar dia!"

"Heitt, nanti dulu!" Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat. "Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kau seranglah aku!"

Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira,

"Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?"

Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata,

"Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teccu menyerang!"

Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.

"Cuss! Cusss!"

"Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?"

Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mujijat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu mohon petunjuk."

Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih.
"Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya.

Dahulu, di empat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!"

"Beliau adalah nenek teecu!" Suma Hoat berkata.

"Aihhhh! Pantas.... pantas....!" Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil. "Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...."

"Dia adalah ayah teecu!"

Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.

"Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?"

"Tentu saja yang baik, Locianpwe!"

Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu berahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita.

Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi.
"Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"

Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab,
"Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"

Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya.

"Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?"

"Teecu siap, Suhu."

"Nah, kalau begitu, mari kau ikut aku pergi dari tempat ini!" Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri.

"Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?" Im-yang Seng-cu menegur.

Suma Hoat memandang gurunya.
"Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar