Ads

Jumat, 08 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 129

Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya.
"Maafkan aku.... maafkan...."

Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu.
"Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku melainkan mencinta dirimu sendiri!"

Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak.
"Apa maksudmu, Bwee-moi?"

"Di balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako, siapakah yang kau cinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?"

Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk.

"Akan tetapi.... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?"

"Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, robahlah cintamu itu, bersihkan daripada nafsu berahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?"

Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk.
“Aku mengerti, Bwee-moi."

Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih daripada nafsu, jauh daripada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat merasakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih.

Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biarpun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun.

"Bwee-moi, terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan bersih daripada nafsu?"

Wajah Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika menjawab,

"Aku.... aku juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku.... aku mencinta dia seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh.... sudah mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah daripada engkau, Twako."

Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu karena dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada dia ataukah kepada Maya?

Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya perlahan sambil berkata,

"Bwee-moi, kasihan engkau....! Engkau sedang menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu."

"Terima kasih, Yu-twako, engkau baik sekali."






Tiba-tiba kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu, kembali ke perkampungan dan mereka melihat orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul di depan pondok Ouw-pangcu.

Ketika melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang, Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya, berbondong-bondong lari menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu dari belakang.

Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan bertemu dengan penghuni lembah di bawah, atau setidaknya ketuanya karena mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari Bu-tek Lo-jin. Biarpun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan menyaksikan sendiri keadaan mereka.

Akan tetapi menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah, pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah yang penuh rahasia itu.

Siauw Bwee dan Yu Goan yang mengikuti rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka menerobos ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa, kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya ke arah suara itulah mereka menuju.

Rombongan itu berhenti di dalam sebuah hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Di bawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh berbentuk sebuah kepala raksasa.

Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu, berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi disitu.

Suara melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak ke arah batu besar itu. Batu itu bergerak perlahan, bergeser dari kanan ke kiri. Dan tampaklah sebuah lubang di bawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu terus menggeser sampai lubang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris tengah satu meter.

Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai dari dalam lubang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak memandang ke arah lubang sumur itu.

Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri seorang manusia yang amat menyeramkan! Demikian cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri di depan lubang.

Hanya pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang, maka dara sakti ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan, ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri.

Orang itu benar-benar amat menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek di pinggir dan ujungnya. Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun karena robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang mengerikan.

Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang, tinggal sisanya sedikit saja. Tangan kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar dari lengan baju amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga buah saja.

Kulit yang membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah di sana-sini seperti digerogoti rayap. Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu memandang ke arah muka orang itu, ia merasa betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu di bagian atas sehingga yang tampak hanya mulai dari alis ke bawah. Akan tetapi itu pun sudah amat menakutkan!

Kalau kulit kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan. Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang. Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lubang hitam. Matanya seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat dipejamkan.

Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri di depan lubang itu tak patut disebut manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat!

Di samping perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar di hati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu.

Kini muncul dua orang lain dari dalam lubang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang pertama. Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi, melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri di kanan kiri orang pertama yang sudah marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal sepotong, bicaranya sukar dimengerti.

Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di perkampungan yang dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah tentang peristiwa pertempuran diantara orang-orang tebing.

"Harap para Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada Pangcu di bawah bahwa kami semua tidak pernah melanggar perintah."

Orang penderita kusta yang pertama itu kembali bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan kekagetan dan ketakutan.

Ia menggoyang tangan kiri yang diangkat ke atas sambil berkata,
"Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak mau ikut Locianpwe turun ke bawah!"

Orang kedua yang berdiri di sebelah kanan orang pertama, mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki gin-kang yang amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu, orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu.

"Crottt!"

Empat buah jari tangan itu menancap di pundak seperti empat buah pisau tajam, akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental ke belakang karena Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Ketika terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal di pundak Ouw-pangcu!

Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sin-kang yang demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak Ouw-pangcu juga tercabut keluar terdorong oleh daya tolak sin-kang Ouw-pangcu. Anehnya, biarpun dua buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!

"Maaf, saya tidak sengaja menyusahkan para Locianpwe," kata Ouw-pangcu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar