Ads

Jumat, 08 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 130

Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan akibatnya tadi.

Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan bendera kecil itu di atas kepalanya. Melihat bendera kecil itu, Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera sambil berkata,

"Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau Locianpwe tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah dan mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah."

Si Tangan Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada anak buahnya yang masih berlutut ketakutan.

"Kalian kembalilah dan bekerja seperti biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di lembah maka jangan kalian memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya, kalian boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari, kalau aku tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku pergi. Marilah Sam-wi Locianpwe."

Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti tiga orang penderita kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan lorong di bawah tanah yang menuju ke lembah jauh di bawah! Setelah empat orang itu memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi lubang. Keadaan menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu baru berani bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi.

Setelah anak buah Ouw-pangcu meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi mereka.

"Setan-setan itu! Mengapa kau tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?"

"Gi-hu ikut dengan mereka secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang lembah itu memang mempunyai kekuatan lebih besar dan Gi-hu harus tunduk kepada ketua orang lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak berlawanan dengan isi hati Gi-hu sendiri."

"Akan tetapi Gi-hu dibawa mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami bencana di bawah sana?"

"Tidak, kita tidak akan membiarkan saja. Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa yang terjadi."

"Bagus! Mari kita kejar mereka, biar kugeser batu ini!"

Yu Goan meloncat akan tetapi baru saja ia menyentuh batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya.

"Jangan, Twako. Kalau kita masuk atau turun melalui jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku harus bertanding dengan orang-orang seperti itu.... hiiiihhhh, aku bisa mati karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita malah menambah kesalahan Gi-hu dalam pandangan mereka. Mereka itu menjijikkan, akan tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan menemui kegagalan di tengah jalan sebelum sampai di lembah. Lorong yang merupakan jalan satu-satunya ini pasti terjaga kuat oleh mereka."

Yu Goan mengangguk-angguk dan kagum sekali.
"Habis, bagaimana kita bisa turun kembali ke lembah?"

"Perkampungan mereka di bawah itu kelihatan dari atas tebing. Biarpun curam dan sukar, kalau kita menggunakan besi pengait, pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak dapat turun ke bawah?"

Yu Goan setuju dan mereka segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian mulailah kedua orang itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan kepandaian mereka yang tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka merayap turun perlahan, menggunakan pedang ditancapkan pada dinding batu karang, melorot turun dengan bergantung kepada tambang. Biarpun sukar sekali, dan tidak dapat cepat karena mereka harus amat berhati-hati, sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka dapat merayap ke bawah.






Akan tetapi ternyata oleh mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biarpun mereka mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar beberapa kali kalau menghadapi jalan buntu, dimana tebing itu berakhir dengan jurang yang tak mungkin dapat dilalui, batunya pecah di bagian bawah.

Terpaksa mereka mencari jalan baru untuk turun dan adakalanya mereka terpaksa merayap ke atas lagi untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan terpaksa mereka harus melewatkan malam di dalam guha yang terdapat di dinding batu karang yang licin!

Pada keesokan harinya, setelah cuaca terang, barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengambil jalan memutar ke selatan, mereka melihat dataran di tengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding di bagian ini ternyata menembus ke sebuah dataran yang merupakan dataran ke dua di bawah puncak tebing, sungguh merupakan keadaan yang ajaib!

Dataran yang berada di perut gunung, luasnya paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil di puncak, dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan yang amat berlawanan dengan lembah itu yang di kelilingi tebing tinggi!

"Mari kita kesana, siapa tahu dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah," kata Siauw Bwee.

"Baik.... heiii, ada rumahnya disana!" Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba menuding.

Benar saja, dari lereng tebing itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana di dataran itu, tanda bahwa di sana ada manusianya! Hal ini mendorong semangat mereka dan mereka merayap ke arah dataran itu, kemudian meloncat turun di atas tanah yang rata.

Dengan hati-hati mereka berjalan ke tengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang modelnya sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya, bahkan dua pondok itu lebih sederhana lagi.

Setelah dekat dan menghampiri pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap di balik pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari pondok membawa setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti daun-daun kering, akar-akar dan buah-buahan kering.

Laki-laki itu usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat sederhana, tanpa lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak. Celananya hitam dan digulung di bagian bawahnya, sampai ke lutut.

Tiba-tiba kakek itu berhenti di depan pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga tumpukan tampah yang jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas dengan tangan kanan dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar ke udara dan berputar-putar seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikit pun!

Tampah pertama masih melayang-layang ketika tampah ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul sehingga dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang di udara seperti sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian tampah-tampah itu meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang dipasang di depan pondok sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya yang terlempar keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

"Bukan main....!"

Yu Goan berbisik dan Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga loncatan tampah-tampah tadi pun di "kendalikan" oleh tenaga sin-kang! Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek itu sudah tahu akan kedatangan meceka, karena demonstrasi tenaga sin-kang tadi, tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan, yaitu sengaja diperlihatkan orang untuk menggertak.

Kalau kakek itu tidak tahu bahwa mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang, perlu apa main-main dengan tenaga sin-kang seperti itu? Maka ia bersikap waspada dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek itu tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah, mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu "melayang" berputaran menuju ke arah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti seekor burung garuda menyambar dua ekor domba!

"Celaka!"

Yu Goan berseru dan pemuda itu sudah mencabut pedangnya, akan tetapi Siauw Bwee menyentuh lengan pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua lengan mendorongkan kedua telapak tangan ke atas, ke arah tampah yang meluncur turun.

Dia tidak berani mempergunakan Jit-goat-sin-kang yang belum dilatih sempurna itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suhengnya. Tampah yang sudah meluncur turun itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke arah Siauw Bwee, melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas dipan yang masih kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu agak tergetar karena ada dua tenaga sin-kang raksasa yang mengemudikannya dari arah berlawanan!

"Tahan dulu Locianpwe!"

Siauw Bwee sudah berseru dan melompat keluar dari tempat sembunyinya, lompatannya seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak enam meter terhalang dipan penjemur obat-obatan di atas tampah-tampah.

Sejenak kakek itu memandang dengan alis berkerut, matanya terbelalak penuh keheranan dan agaknya dia masih tidak mau percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu melayang turun, hanyalah seorang dara remaja.

"Bagus! Coba engkau tahan ini!"

Serunya dan tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia lemparkan ke udara, kini bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan.

Kedua tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya meluncur hawa sin-kang yang "mengemudikan" tampah berisi bahan obat itu.

Siauw Bwee maklum bahwa kakek itu kini mengerahkan tenaga sin-kang yang besar sekali karena tidak hanya tampah itu berputaran di udara, akan tetapi juga isinya ikut berputaran di atas tampah. Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa kakek itu menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk, maka kini hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia pun lalu mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan ke depan. Hawa sin-kang yang kuat meniup keluar dari kedua tangannya, membubung ke atas menerima tampah itu.

Tampah yang berpusing di udara itu tiba-tiba berhenti dan mengambang di udara seolah-olah terpegang tangan yang kuat lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke arah pelemparnya.

Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan seluruh tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar hawa yang panas sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk melawannya. Tiba-tiba hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee yang sengaja hendak menguji pula, segera merobah sin-kangnya menjadi Yang-kang.

Tampah itu seperti hidup. Sebentar bergerak ke arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sebentar karena kembali terdorong ke arah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya dan akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju ke arah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang terbelalak.

Akhirnya ia berseru keras melompat ke kiri dan menurunkan kedua lengannya. Tampah itu jatuh ke bawah, hancur dan isinya berantakan, akan tetapi seperti tampah yang hancur bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk pecah-pecah dan ada yang gosong seperti terbakar!

"Hebat! Wanita muda, dari mana engkau mempelajari Jit-goat-sin-kang?"

Pertanyaan ini mengandung penasaran besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar