Ads

Minggu, 10 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 136

Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es.

Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!

Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara.

Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu!

Hatinya berduka sekali karena dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu. Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas dendam itu.

Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia, apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!

Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee!

Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua!

Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!

Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee kemana? Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai.

Maka pergilah Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, dimana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin.

Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san, luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa.

Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw,
"Di puncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!"






Mendengar ini, Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil.

Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui diantara mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati!

Semua kuburan, di bawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan "Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.

"Paman, mohon tanya dimana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"

Kakek petani itu menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Kau maksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh.... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu dimana mereka itu berada? Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi entah kemana...." Suara orang itu penuh duka dan keharuan. "Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik hati?"

"Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan dimana sekarang pusat Beng-kauw?"

Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan.
"Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"

Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
"Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku."

Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita,

"Saya dahulu juga seorang anggauta Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu.

Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah kemana, mungkin mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama."

Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali.
"Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!"

Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.

"Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!"

Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun di sepanjang jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang.

Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal disitu hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.

"Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, dimana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"

Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat.

Tentu saja Han Ki terkejut bukan main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur!

Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika!

"Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"

Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang diantara mereka bertanya.

"Maaf...., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"

"Sahabatnya? Dan apa kau bilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?"

Enam orang itu menarik napas lega.
"Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?"

Han Ki sudah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.

"Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."

"Ahhhhh...., mengapa Taihiap datang terlambat....?"

Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.

"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"

Orang tertua dari mereka berkata,
"Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal disini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi.... ah.... Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas...."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar