Ads

Sabtu, 09 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 135

Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel,
"Siapa menyebutku suheng?"

"Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee....!"

Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!

"Tangkap pengacau itu!"

Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk di sudut ruangan. Seorang diantara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali.

Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang.

Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan.

Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.

"Crot!"

Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.

Biarpun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai.

Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah!

Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan.

Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah suhengnya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!

Pertandingan itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya.

Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki, kalau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik selihai itu.






Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa ke dua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam cerita Samkok) membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee.

Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apalagi kini melihat pengawal ke dua sudah maju.

Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal ke dua ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua yang memegang tombak panjang.

"Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!"

Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.

Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu yang menuju ke ulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang.

Pengawal itu terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot.

"Hekkk!"

Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh. Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.

"Trangggg!"

Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh!

Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring,

"Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!"

Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.

"Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!" Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.

"Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu," bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya. "Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"

Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti.

Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.

"Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!" Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.

"Satu lawan satu!"

Terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya,

"Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!"

Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya.

Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.

"Majulah, petani busuk!"

Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.

"Taijin, kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!" kata Coa Leng Bu dengan suara tenang.

"Tak perlu mencari muka, sambut tanganku!"

Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri ke arah perut.

"Plak-plakk!"

Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak tangan terbuka.

Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar