Ads

Minggu, 10 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 140

Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang lain. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil!

Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!

Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih!

Biarpun di dasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai diantara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan!

Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!

Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang diantara manusia. Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan diantara manusia-manusia pribadi sendiri.

Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan.

Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.

Karena maklum bahwa keselamatan supeknya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ, kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela!

Gegerlah para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supeknya telah lenyap. Ketika semua orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang lebih menggegerkan lagi.

Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger. Disana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka kewalahan dan terdesak. Mereka mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang di seluruh pelosok kota.

Disana-sini bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau. Penduduk menjadi panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi ke lain tempat.

Akan tetapi para pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa pemberontak yang dikejar-kejar.






Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap diantara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik tidak karuan itu sehingga para pengejar kehilangan jejak mereka. Siauw Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan orang mata-mata Mancu yang menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak.

Dengan marah, Bu-koksu sendiri turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan, menjaga tempat-tempat penting. Kemana pun dia bergerak, Han Ki selalu mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki, menunggang kuda dan berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang melakukan pembersihan.

Namun, karena malam tiba dan para mata-mata itu melakukan taktik bersembunyi di antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan.

Memang benar bahwa para serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan biarpun para penjaga telah melakukan penggeledahan di seluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena para mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi ke dalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan pura-pura menjadi anggauta keluarga penghuni rumah itu.

Malam itu merupakan malam yang paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari ke sana ke mari dan tingkah-polah para anggauta tentara yang mencari mata-mata ini menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk memukuli rakyat yang dicurigai menyembunyikan para mata-mata musuh.

Semalam suntuk terjadi kebakaran di sana-sini dan para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu saja setelah melakukan pembakaran, berada di tempat yang jauh dari kebakaran dimana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat. Semalam suntuk, tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam kota, amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu gerbang.

Paginya, pagi-pagi sekali penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu dan di luar rumah, di jalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggauta tentara yang berlarian menuju ke benteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu ke kota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang.

Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyelinap diantara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang tinggi di dekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini mereka mengintai ke atas benteng dan keluar benteng. Kiranya dari jauh tampak barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota Sian-yang!

Setiap pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang gagah. Paling depan tampak beberapa orang perajurit berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang panglima Mancu yang juga menunggang kuda.

Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat bahwa diantara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima wanlta. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh. Dia menduga-duga dengan penuh keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati benteng, menuju ke atas pintu gerbang dimana berdiri Koksu dan para panglimanya.

Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam melambal-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah pasukan itu menyilaukan mata.

Dari tempat sembunyinya yang jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya yang bergerak maju pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan berkuda dan bergolok panjang dikempit dengan lengan kanan.

Melihat ini, Koksu lalu memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya. Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada perwira-perwira pembantunya ke bawah.

Pasukannya disiapkan, juga berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan di luar benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang turun dari atas benteng!

"Wah, hebat juga gin-kangnya....!"

Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang turun dan tubuhnya tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng! Seorang pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal kuda ke depan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jerih pihak musuh.

Panglima Mancu yang bertubuh tinggi besar itu mengeprak kudanya maju, menyeret golok panjangnya menyambut majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan, terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang, trang-tring-trang-tring diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.

Pertandingan itu berlangsung seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang. Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan mati-matian itu berjalan makin seru.

Sungguh tidak beruntung bagi panglima muka kuning, ketika lawannya menghantam sekuat tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak.

Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang.

Sorak-sorai pasukan Mancu yang menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung di bawah pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja pasukan Mancu tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian.

Terjadilah perang yang dahsyat antara dua ribu orang perajurlt itu, perang campuh di atas kuda yang menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul tinggi!

Pasukan Mancu itu adalah pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya maka mereka bertanding dengan semangat tinggi, kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehilangan dua ratus orang lebih itu mundur melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan musuh.

Koksu yang marah sekali melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng menghujankan anak panah ke arah musuh, kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang perajurit menyerbu keluar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar