Ads

Minggu, 10 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 139

"Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee....! Suheng....!"

Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya.

"Eh, kau pandai juga!"

Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar ke arah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kemball tangkapannya luput!

"Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!" Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, "Dia datang mengacau!"

Han Ki mengerutkan alisnya.
"Baik, Loheng!"

Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis.

"Plakkk!"

Tubuh Siauw Bwee terhuyung ke samping karena betapapun juga, tenaga sin-kangnya masih belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat berbahaya.

Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan Han Ki dan dapat melarikan suhengnya itu dari situ!

"Eh, kau lihai!"

Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.

"Plakk!"

Sebelum tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki ke dua dari dara itu telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.

"Aihhh.... bagaimana kau bisa sehebat ini?"

Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Siauw Bwee tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang berlatih, melainkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!

"Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!"

Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes turun.

"Wuuutttt!"

"Aihhh.... plakkk!"






Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya, yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan itu dengan tangan kanannya.

Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!

Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apalagi dia!

Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Suhengnya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu!

Karena inilah maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan menawan suhengnya, untuk melarikannya.

Akan tetapi ternyata olehnya bahwa biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya!

Dia hanya mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas, bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak memiliki dasar watak yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suhengnya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya!

Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi perajurit-perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan.

"Hemm, berapa jumlah mereka?" Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.

"Menurut hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!"

"Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar sendiri!" Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. "Kam-siauwte, hentikan pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal, tangkap dua orang itu!"

Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!

Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.

Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapapun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting.

Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.

Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat.

"Krakkk! Cusss!"

Tangan kirinya dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga leher orang ke dua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil menendang dengan kedua kakinya.

"Dess! Bukkk!"

Tubuh Si Dampit terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti itu.

Dengan kemarahan meluap, seorang diantara mereka yang terluka lehernya itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.

"Krekkk!"

Seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai masuk ke dalam leher dan orang ke dua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik!

Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan. Manusia yang belum sadar dan pandang mata batinnya diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapapun juga kecuali terhadap tubuh sendiri, selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara!

Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang lain untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya.

Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar