Ads

Senin, 11 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 143

"Awas perahu-perahu musuh!"

Coa Leng Bu berbisik. Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri, setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.

"Supek, cepat dorong balok ke seberang, biar aku yang menahan mereka," kata Siauw Bwee.

Dia menyelipkan pedang rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang banyaknya. Coa Leng Bu mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang ke kaki mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang hanya tampak gelap menghitam di malam itu.

"Wir-wir-wirrr....!"

Siauw Bwee kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang ke arah perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal.

Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,

"Coa-supek, awas anak panah!"

Dengan pedangnya dia sudah menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapapun juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak kanannya, menancap di bawah tulang pundak dari belakang sampai menembus ke depan!

Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Tangan kirinya yang menggenggam lima batang anak panah, dia gerakkan dan lima batang anak panah itu melayang ke arah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.

"Trak-trakk!" Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air.

Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum.

Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati. Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah mereka adalah seorang wanita.

Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke arah lehernya!

Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sin-kang!

"Trakkk....! Aiiihhh....!"

Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang amat dingin menghantam dadanya.






Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali ke atas perahu!

Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu telah tiba di seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi sungai yang dangkal.

Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis!

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu.

Akan tetapi, di dalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlumba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.

Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi.

Dan memang dugaan Siauw Bwee betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sin-kangnya jauh di bawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai daripada dia!

Karena suhengnya tidak bersamanya, dan diantara pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apalagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar kota.

Baru menghadapi wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang diantara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan, adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.

Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat besar.

Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biarpun pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus ke selatan semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun dan berhenti ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.

Di sepanjang jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.

Warung itu penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri dimana terdapat beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.

"Benarkah keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?" Terdengar orang ke dua bertanya sambil berbisik.

"Tidak salah lagi. Keponakanku adalah seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan musuh," bisik orang pertama.

"Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada disana!" kata orang ke tiga. "Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dan belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!"

"Hemmm, diantara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke selatan akan roboh pula karena wanita?"

"Stttt, Twako, jangan bicara seperti itu....!" terdengar suara memperingatkan.

Yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya. Pula, sucinya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitpun masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.

Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suhengnya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat mengkhawatirkan dan suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.

"Supek, mari kita melanjutkan perjalanan," katanya lirih kepada Coa Leng Bu.

Kakek itu mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung.

Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.

"Selamat datang, Koan-taihiap.... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya."

Orang yang disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata,

"Harus kau sediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting daripada siapapun juga di sini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak."

Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya.

Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti di luar warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar