Ads

Senin, 11 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 142

"I-hun-san....?" Siauw Bwee memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. "Akan tetapi, suhengku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai terkena racun....?"

Kakek itu menghela hapas.
"Boleh jadi dia lihai sekali. Menyaksikan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi cukup untuk melindungi diri daripada serangan yang kasar, namun untuk dapat melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman. Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya, tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota."

Siauw Bwee mengangguk dan supeknya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan atas meloncat ke atas genteng dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat.

Malam itu Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah di atas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang terkurung di dalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam Han Ki, suhengnya. Memikirkan suhengnya yang dicintanya itu, selain gelisah, hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa suhengnya, seperti juga dia, adalah keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa pahlawan, dan andaikata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan tenaga untuk kepentingan mereka.

Suhengnya adalah keturunan keluarga Suling Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak, hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negara. Dan sekarang, tenaga suhengnya dipergunakan oleh negara secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andaikata saat itu ia berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.

"Eiiggghhhh....! Toloooongggg....!"

Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut yang berteriak itu didekap. Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia meloncat keluar kamar dan lari ke depan. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas di atas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya.

"Iblis....!"

Ia membentak dan menerjang maju. Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak, tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental, pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee telah menyambar seperti kilat dan mereka itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!

Dari bawah sinar lampu, Siauw Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu dilarikan serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki sebuah warung kosong dimana ia mendengar suara serdadu tertawa.

Dengan pedang di tangan kanan, ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu di atas meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama sekali dan sekarang sambil tertawa-tawa, seorang serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu ke dua sambil memegang lengan gadis itu, menampari mulut gadis disuruh diam!

"Anjing busuk!" Siauw Bwee memaki, pedangnya berkelebat.

"Singgg....! Crotttt!"

Punggung serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh mandi darahnya sendiri. Serdadu ke dua terkejut, mencabut pedangnya, namun kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!






Tiba-tiba dari luar warung itu datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka di dalam rumah obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.

Melihat munculnya dua belas orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw Bwee seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu!

Yang lain-lain menjadi terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak dan Siauw Bwee terus menerjang maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan mudah ia meloncat keluar.

Akan tetapi, di luar warung telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget.

Mereka segera mengurung dan memberi aba-aba kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan orang!

Sepak terjang Siauw Bwee menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari jarak jauh dan dengan sikap jerih. Betapapun juga, dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat keluar dari kepungan itu.

"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian anjing-anjing Mancu!"

Bentaknya dan pedangnya bergerak makin cepat, diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari sukar diikuti pandang mata para pengeroyoknya.

Namun, kemana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar, kepungan masih ada ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya.

Tiba-tiba kepungan itu agak kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya, akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat seorang pemuda tampan yang sama sekali tidak dikenalnya.

Di bawah sinar penerangan lampu-lampu di depan rumah dan obor-obor yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan Jit-goat-sin-kang yang dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin!

"Nona, harap lekas lari melalui pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!"

Pemuda tampan itu kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan dara ini dan menuding ke selatan.

Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata,

"Terima kasih!"

Dan tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu.

Ketika dia lari melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan Jit-goat-sin-kang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng Bu maupun mendiang Ouw Teng sendiri! Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk diantara awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik sekali!

Kalau saja pemuda itu tidak terbukti telah membantunya keluar dari kepungan tentu Siauw Bwee akan marah dan menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan gin-kangnya dan meloncat jauh ke depan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya.

Karena kini empat orang perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos keluar karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh pasukan yang berteriak-teriak.

Ketika tiba di pintu gerbang sebelah selatan, di situ sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supeknya, Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini, Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan pertempuran sehingga para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan saja belasan orang diantara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee.

Coa Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah serdadu lain. Di sekeliling tempat itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang. Coa Leng Bu juga girang sekali melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat berkata,

"Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku, cepat!"

Siauw Bwee maklum bahwa kalau mereka terus mengamuk disitu, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu.

Apalagi kalau sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira saja yang mengeroyoknya tadi, sudah memiliki kepandaian yang lihai, apalagi kalau para panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para Panglima Sung!

Kini mereka berdua menerobos kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air yang cukup lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu tentu saja terangkat naik sehingga tidak ada jalan keluar lagi meninggalkan tempat itu.

"Bagaimana, Supek?"

Siauw Bwee bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.

"Aku sudah siap dengan alat penyeberang disana. Itu, mari!"

Kakek ahli obat ini menuding ke kanan. Siauw Bwee memandang di tempat gelap itu, terkena cahaya penerangan dari atas benteng, dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya supeknya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok untuk menyeberang! Biarpun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supeknya. Kemudian keduanya meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu meluncur ke tengah!

Baru saja balok yang mereka injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan mengacung-acungkan senjata.

"Serang dengan anak panah!"

Terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang dan tak lama kemudian datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng!

Coa Leng Bu yang tidak memegang senjata, sudah menanggalkan bajunya dan dengan baju ini, dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah yang menancap di situ.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar