Ads

Jumat, 15 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 162

Kita meninggalkan dulu Yan Hwa yang tidur pulas dan suhengnya yang memandang dengan heran dan menduga-duga, karena pada hari itu juga, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelundup ke kota Siang-tan. Karena sudah lama kita meninggalkan Siauw Bwee, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar wanita yang sakti ini berhasil keluar dari kota Sian-yang berkat bantuan Suma Hoat dan kemudian setelah keluar dari kota itu, dia bertemu kembali dengan pemuda ini yang ternyata adalah sute dari Coa Leng Bu.

Diceritakan pula betapa Suma Hoat tergila-gila kepadanya dan secara terus terang menyatakan cintanya yang tentu saja ditolak oleh Siauw Bwee. Betapapun juga Siauw Bwee tidak mengganggu pemuda itu biarpun kenyataan bahwa pemuda itu putera tunggal musuh besarnya, Suma Kiat, membuat dia semestinya membenci Suma Hoat. Namun sikap pemuda itu malah menimbulkan perasaan iba di hatinya.

Setelah Suma Hoat pergi yang membuat heran hati Coa Leng Bu karena kakek ini tidak mengetahui sebab-sebabnya, juga tidak berani bertanya kepada Siauw Bwee, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke kota Siang-tan. Siauw Bwee ingin sekali bertemu dengan suhengnya, ingin menyelidiki sikap suhengnya yang aneh, yang menurut dugaan supeknya itu tentu menjadi korban racun perampas semangat.

Tentu saja memasuki kota Siang-tan yang masih diduduki oleh pasukan Sung, lebih mudah bagi mereka, orang-orang Han, dari pada memasuki kota Sian-yang yang telah dikuasai bala tentara Mancu.

Bersama rombongan pengungsi, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki pintu gerbang kota. Akan tetapi, pada pagi hari itu, penjagaan di pintu gerbang kota Siang-tan tidaklah seperti biasa. Biarpun para pengungsi itu adalah suku bangsa sendiri, namun setiap orang pengungsi harus digeledah dan setiap buah senjata yang ada pada mereka dirampas. Hal ini adalah akibat kekacauan yang terjadi kemarin, dimana para pengungsi mengamuk dan lima orang mata-mata diketahui dan dikejar-kejar.

Ketika tiba giliran Siauw Bwee digeledah, hampir saja terjadi keributan. Melihat dua orang penjaga yang menyeringai dan memandangnya dengan muka kurang ajar, hati Siauw Bwee menjadi panas sekali. Para pengungsi lain, cukup digeledah barang-barang bawaan mereka dan diharuskan menyerahkan senjata yang menempel di tubuh, akan tetapi melihat Siauw Bwee yang cantik jelita, dua orang petugas itu timbul gairahnya dan keceriwisannya.

"Aha, Nona harus digeledah. Silakan masuk ke pondok penjaga, harus kami geledah kalau-kalau Nona menyembunyikan senjata atau surat-surat penting di dalam pakaian Nona. Kami takkan bersikap kasar terhadap Nona yang cantik jelita."

Hampir saja Siauw Bwee melayangkan tangannya menampar petugas itu, akan tetapi Coa Leng Bu cepat menyentuh lengannya. Kakek ini menjura kepada dua orang petugas itu.

"Harap Ji-wi suka memaafkan kami. Keponakanku ini tidak membawa senjata lain kecuali pedangnya. Pedang sudah kami berikan, mengapa harus digeledah pakaiannya lagi sedangkan para pengungsi lainnya tidak?"

"Hemm, engkau tak tahu, orang tua! Di antara mata-mata yang dikejar semalam, terdapat beberapa orang gadis muda yang cantik. Dalam keadaan perang seperti ini, gadis-gadis cantik, pengemis-pengemis tua, orang-orang yang kelihatan lemah dan biasa malah mencurigakan, karena para mata-mata selalu menyamar sebagai orang-orang lemah."

"Alasan dicari-cari! Kalau aku mata-mata, masa akan masuk kota begini saja? Katakan saja kalian kurang ajar agar aku mendapat alasan untuk menghajar kalian!"

Siauw Bwee membentak dan telapak tangannya sudah terasa hendak "mencium" muka dua orang penjaga yang menyebalkan hatinya itu.

"Ssstt, sabarlah, Lihiap," kata Coa Leng Bu yang segera berkata kepada dua orang yang kelihatan marah oleh kata-kata Siauw Bwee tadi. "Harap Ji-wi tidak mengganggu. Ketahuilah bahwa aku adalah suheng dari Suma Hoat, putera Jenderal Suma Kiat. Kalau sampai terjadi keributan antara kita dan terdengar oleh Suma-goanswe, akan membuat hati tidak enak saja."

Mendengar ini, pucatlah wajah kedua orang penjaga itu. Mereka membungkuk-bungkuk, meminta maaf dan mempersilakan mereka memasuki kota tanpa banyak cakap lagi.

"Huh, menyebalkan sekali anjing-anjing penjilat itu!" Siauw Bwee mengomel.






"Kita harus dapat memaafkan mereka, Lihiap. Mereka hanyalah petugas-petugas yang menjalankan kewajibannya."

"Supek, perlu apa membela orang-orang macam itu? Kalau memang para petugas menjalankan kewajibannya dengan baik dan teliti, siapa yang akan membantah dan mencela? Aku malah akan menghargainya dan kagum. Ayah pernah bilang bahwa seorang petugas harus memiliki kesetiaan kepada tugasnya. Akan tetapi mereka itu? Hemm...., mereka hanya melakukan tugas dengan keras penuh tekanan kepada mereka yang lemah dan miskin. Mereka yang mampu memberi uang sogokan tidak digeledah, dan wanita-wanita muda yang sudi bersikap manis kepada mereka tentu akan terbebas pula dari penggeledahan. Engkau tadi baru menggunakan nama besar Jenderal Suma saja sudah membuat mereka mundur dan melipat buntut seperti anjing-anjing penjilat ketakutan. Menyebalkan."

Siauw Bwee memang marah sekali karena nama musuh besarnya, Suma Kiat, terpaksa dipergunakan oleh supeknya untuk menghindarkan keributan.

"Lihiap, engkau adalah seorang yang biarpun masih amat muda, telah berhasil memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Namun, tetap saja engkau masih muda dan perlu mempelajari soal hidup dan lebih mengenal diri sendiri agar kesadaran menuntunmu dan membuat pandang matamu waspada terhadap segala yang terjadi di sekelilingmu. Belajarlah untuk berani menghadapi kenyataan yang bagaimanapun juga, Lihiap.

Menghadapi kenyataan tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Tanpa ingatan akan masa lalu dan renungan akan masa depan maka engkau akan dapat melihat kenyataan itu seperti apa adanya, membuat engkau akan tetap tenang biarpun menghadapi apapun juga. Dalam keadaan tenang sewajarnya inilah maka segala tindakanmu akan dapat kau pergunakan dengan tepat, dan engkau tidak akan terseret oleh kemarahan dan penasaran, penyesalan maupun harapan, karena ketenangan yang timbul dari kewaspadaan ini akan dapat membuat engkau bisa menyesuaikan diri dengan segala keadaan."

Siauw Bwee menjadi termenung. Pantas supeknya ini selalu tenang, kiranya memiliki dasar kesadaran yang amat mendalam. Dia menjadi malu kepada diri sendiri yang mudah dibangkitkan rasa penasaran dan kemarahannya yang sesungguhnya hanya berdasarkan untung rugi bagi diri pribadinya saja.

"Maafkan kemarahanku tadi, Supek. Pikiranku sedang gelisah memikirkan Suheng, sehingga aku mudah tersinggung. Aku akan langsung mencari dimana gedung tempat tinggal Bu-koksu, karena Suheng tentu berada disana pula."

"Berbahaya sekali kalau langsung pergi kesana, Lihiap."

"Supek, aku tidak takut. Kurasa, aku akan sanggup menghadapi semua pengawal Bu-koksu...."

"Apakah engkau akan mampu pula menandingi Kam-taihiap, suhengmu itu?"

"Ahhh.... kalau dia.... tentu saja aku takkan mampu, dia adalah suhengku dan juga guruku, karena dialah yang membimbingku dahulu."

"Nah, kalau begitu, harap jangan tergesa-gesa dan sembrono. Bukankah suhengmu itu telah hilang ingatan dan tidak mengenalmu lagi? Kalau kau menyerbu kesana, tentu dia akan membela Bu-koksu dan mau tidak mau engkau akan berhadapan dengan dia."

Siauw Bwee terkejut dan menjadi bingung, lalu menghela napas.
"Aihhh, benar juga, habis bagaimana baiknya, Supek?"

"Kita harus bersabar, dan sebaiknya kita mencari rumah penginapan lebih dulu, kemudian baru kita menyelidiki dengan diam-diam. Jalan terbaik adalah mencari kesempatan untuk dapat berjumpa berdua dengan suhengmu itu dan membujuknya untuk suka kuobati. Atau, kalau sekiranya sukar mencari kesempatan ini, aku dapat meminta bantuan Sute. Kurasa, Suma-sute juga berada di kota ini."

Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia harus minta bantuan Suma Hoat, pemuda putera musuh besarnya, juga pemuda yang ia tolak cintanya itu.

"Coa-supek, terima kasih atas nasihatmu yang amat berharga. Memang sebaiknya begitulah dan kuminta bantuan Supek agar Supek mempersiapkan obat-obat untuk menyembuhkan suhengku. Sebaiknya Supek mempersiapkan tempat dan obat lebih dulu, aku akan menyusul setelah aku berhasil membujuk Suheng."

"Soal tempat, aku sudah memilih untuk keperluan itu. Hutan yang kita lewati kemarin, hutan yang penuh pohon pek itu merupakan tempat yang amat baik, apalagi aku melihat banyak tetumbuhan obat di sekitarnya. Kalau kita berhasil membujuk suhengmu, sebaiknya kita ajak dia kesana, kita bersembunyi di bagian yang sunyi dalam hutan itu dan aku akan berusaha mengobatinya."

"Bukan kita, Supek, melainkan aku sendiri. Aku sendiri yang akan mencari dan membujuknya. Harap Supek mempersiapkan tempat dan mencari obat-obatnya. Pekerjaan ini amat berat, dan kalau Supek ikut, aku khawatir kalau dia akan curiga dan tidak mau memenuhi permintaanku."

Coa Leng Bu mengangguk-angguk.
"Engkau benar, Lihiap. Disini banyak terdapat orang lihai, dan dengan kepandaianku yang masih rendah, aku hanya akan menjadi penghalang saja. Baiklah, kita berpisah disini, aku akan menuju ke hutan itu dan mempersiapkan obat-obatnya yang harus kucari lebih dulu. Kau berhati-hatilah dan semoga kau berhasil membujuknya pergi ke sana."

"Aku sama sekali bukan bermaksud merendahkan kepandaianmu, Supek...."

"Tidak, memang kenyataannya demikian. Aku tidak menyesal, dan selamat tingga, Lihiap, semoga semua berjalan baik."

Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan Siauw Bwee kembali ke pintu gerbang dan keluar dari kota Siang-tan.

Siauw Bwee menarik napas panjang. Ia merasa menyesal terpaksa harus mengeluarkan kata-kata menyinggung hati supeknya yang baik itu, sungguhpun ia yakin bahwa supeknya yang bijaksana tidak merasa tersinggung dan dapat melihat kenyataan bahwa kalau supeknya ikut bersama dia mencari suhengnya, keadaan tidak akan menguntungkan mereka. Maka dia pun melanjutkan perjalanannya memasuki kota besar Siang-tan, mencari-cari rumah penginapan.

Rumah penginapan Sin-lok adalah sebuah rumah penginapan yang cukup besar, bahkan mempunyai rumah makan sendiri di sampingnya. Melihat rumah penginapan ini, Siauw Bwee menghampiri pintu dan bermaksud hendak menyewa kamar di situ. Akan tetapi, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika ada suara orang berseru,

"Heii, Nona! Tunggu dulu!"

Ia menoleh dan kiranya yang menegurnya adalah seorang perwira pengawal yang memimpin pasukan pengawal sebanyak dua belas orang, agaknya mereka ini bertugas meronda di kota yang sudah bersiap-siap menghadapi penyerbuan musuh dan yang kini melakukan penjagaan dan perondaan ketat setelah kemarin terjadi keributan yang ditimbulkan oleh Maya dan para pembantunya, terutama sekali pemberontakan beberapa orang pengemis yang berhasil dihasut oleh Kwa-huciang.

"Mau apa engkau menahan aku?"

Siauw Bwee sudah bangkit lagi kemarahannya melihat perwira itu dan semua anak buahnya memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum.

Perwira itu meraba gagang pedangnya dan berkata,
"Harap Nona tidak melawan. Aku menangkap Nona dan harap suka ikut ke kantor untuk diperiksa."

"Apa salahku? Mengapa aku ditangkap dan diperiksa, untuk apa?"

Siauw Bwee membentak, tidak mempedulikan wajah beberapa orang yang sudah datang untuk menonton dan kini mereka memandang kepada Siauw Bwee dengan muka khawatir menyaksikan sikap gadis itu yang galak dan berani melawan pasukan pengawal.

"Kalau aku tidak salah lihat, aku pernah melihat Nona di Sian-yang. Kalau benar dugaanku, Nona adalah seorang mata-mata, kalau aku salah lihat, setelah diperiksa oleh komandan kami, Nona tentu akan dibebaskan, disertai maaf kami."

"Gila! Aku tidak mau ditangkap, tidak mau diperiksa. Aku seorang pengungsi, apakah kalian ini bisanya hanya mengganggu wanita saja, sedangkan kalau musuh datang kalian lari terbirit-birit? Memalukan sekali!"

Muka Si Perwira menjadi merah.
"Nona, kalau engkau melawan, hal itu hanya menunjukkan bahwa Nona adalah seorang musuh. Kami hanya melakukan tugas, mengapa Nona hendak menggunakan kekerasan?"

"Siapa yang menggunakan kekerasan? Siapa yang memulai dengan pertentangan ini? Aku tidak ada urusan dengan kalian, sudahlah, jangan mengganggu!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar