Ads

Jumat, 15 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 163

Siauw Bwee melangkah hendak pergi, memasuki pintu rumah penginapan, akan tetapi perwira itu sudah menghadang dan kini sudah menghunus pedangnya.

"Berhenti! Sikap Nona makin mencurigakan dan kami terpaksa menangkap Nona. Kalau Nona menyerah dengan baik-baik, kami akan mengiringkan Nona ke kantor. Kalau Nona melawan, terpaksa kami menggunakan kekerasan!"

Siauw Bwee makin naik darah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan ia menghardik,

"Aku tidak mau ditangkap, hendak kulihat kalian akan bisa berbuat apa?"

"Tangkap dia!" Perwira itu mengeluarkan aba-aba.

Bagaikan kucing-kucing kelaparan memperebutkan seekor tikus, empat orang perajurit pengawal sudah menubruk maju, penuh gairah untuk meringkus tubuh yang padat menggairahkan itu.

"Plak-plak-plak-plak!"

Empat kali tangan Siauw Bwee menampar dan empat tubuh terlempar dan roboh terjengkang seperti disambar petir!

"Ahh, ternyata dugaanku benar! Engkau bukan perempuan sembarangan, engkau adalah mata-mata yang mengacau di Sian-yang itu!"

Perwira muda itu mencabut pedangnya dan menerjang maju. Akan tetapi, dengan gerakan kaki yang luar biasa, kaki kiri Siauw Bwee menendang, tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang terlempar ke atas, kemudian disusul kaki kanan menendang lutut, membuat perwira itu roboh terguling. Pedang yang meluncur turun itu disambut oleh tangan Siauw Bwee yang membentak marah,

"Kau main pedang, ya? Nah, makan pedangmu sendiri!"

Gadis yang marah itu sudah menggerakkan pedang, bukan untuk membunuh hanya untuk sekedar melukai memberi hajaran, akan tetapi tiba-tiba sebutir kacang goreng melayang dan tepat menotok pergelangan tangannya yang memegang pedang. Siauw Bwee terkejut bukan main karena totokan sebutir kacang goreng itu membuat seluruh lengan kanannya tergetar dan lumpuh sehingga pedang rampasannya terlepas dari pegangan!

Betapa lihainya pelempar "senjata rahasia" itu! Dia dapat mengerahkan sin-kangnya sehingga lengannya pulih kembali dan cepat memandang ke atas dari mana serangan tadi datang. Ia melihat seorang laki-laki duduk dengan tenang di atas loteng depan rumah makan sambil minum arak dan makan kacang goreng, sama sekali tidak memandang ke bawah seolah-olah tidak mengacuhkannya.

Akan tetapi begitu melihat laki-laki itu jantung Siauw Bwee berdebar keras. Orang yang dicari-carinya, Kam Han Ki, kiranya orang yang melemparnya dengan kacang goreng. Pantas saja lemparannya demikian tepat menotok jalan darah di pergelangan tangannya dan membuat pedangnya terlepas!

"Suheng....!"

Ia menjerit penuh kegirangan dan tubuhnya sudah melompat ke atas loteng itu, dipandang oleh para pengawal dan penduduk yang menonton dengan mata terbelalak kagum. Gerakan Siauw Bwee memang amat mengejutkan. Lompatannya itu seperti seekor burung terbang ke atas, demikian indah dan cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, hanya merupakan bayangan berkelebat saja.

"Suheng....!"

Kembali Siauw Bwee berkata setelah dia berdiri di depan pemuda itu yang memandangnya dengan mata tak acuh dan masih melanjutkan minum araknya. Melihat sinar mata suhengnya ini, Siauw Bwee merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang. Sinar mata suhengnya membayangkan bahwa dia tidak mengenalnya sama sekali, seperti pandang mata seorang asing, namun pandang mata itu mengandung teguran dan penyesalan.

"Suheng, ini aku, Siauw Bwee sumoimu!"

Suara Siauw Bwee mengandung isak, hampir saja dia menangis karena tidak kuat menahan kedukaan hatinya.






Kam Han Ki, pemuda itu, menurunkan guci araknya, memandang Siauw Bwee penuh perhatian dan sepasang alisnya berkerut, penuh teguran. Suaranya halus namun penuh dengan penyesalan ketika ia berkata,

"Nona, aku sama sekali tidak mengerti akan sikapmu yang aneh, dan mengapa engkau selalu menyebut suheng kepadaku. Aku tidak dapat menduga apakah sebabnya engkau bersandiwara seperti itu, ataukah memang engkau salah mengenal orang. Kalau hendak mengatakan engkau gila, tidak mungkin. Akan tetapi, yang amat kusayangkan adalah bahwa berkali-kali engkau mengacau, dahulu di Sian-yang, dan sekarang kembali engkau mengacau disini. Kepandaianmu amat tinggi, jarang aku bertemu dengan orang yang setinggi tingkat kepandaianmu. Akan tetapi sungguh sayang andaikata engkau pergunakan kepandaianmu untuk mengkhianati negara."

"Kam-suheng! Aku tidak mengkhianati siapa-siapa, aku.... aku...."

Siauw Bwee tak dapat melanjutkan kata-katanya saking sedih hatinya melihat keadaan suhengnya yang benar-benar sama sekali tidak mengenalnya.

"Hemm, engkau selalu membikin kacau dan kalau tadi tidak kucegah, bukankah engkau sudah melukai seorang perwira pengawal?"

"Kam-suheng, aku sengaja mencarimu! Engkau.... engkau telah kehilangan ingatan sehingga engkau tidak ingat lagi kepadaku, sumoimu yang.... yang setengah mati mencarimu. Aihh, Suheng.... ingatlah, aku Siauw Bwee.... Suheng, benar-benarkah engkau lupa kepadaku?"

Han Ki memandang dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu menghela napas.
"Sayang.... sungguh sayang.... Engkau seorang dara remaja yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Sayang kalau sampai pikiranmu tidak normal. Aku belum pernah bertemu denganmu, kecuali ketika engkau mengacau dan menyerang Koksu di Sian-yang. Sungguhpun suaramu.... ahh, tentu hanya dalam mimpi saja aku pernah mendengar suaramu. Nona, kau pergilah dari kota ini, jangan mengacau lagi."

Siauw Bwee maklum bahwa akan percuma saja dia mengingatkan suhengnya ini yang sudah hilang ingatannya. Dia seorang gadis cerdik, maka dia segera bertanya,

"Kalau kau anggap aku sebagai seorang pengkhianat dan pengacau, mengapa engkau tidak menangkap saja aku agar aku dihukum mati, atau tidak kau bunuh saja aku? Betapapun lihaiku, aku tidak akan dapat menang melawanmu. Mengapa?"

Bertanya demikian, sepasang matanya menatap tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati Han Ki.

"Aku tidak akan tega mencelakakan engkau, Nona. Aku tidak suka membikin susah orang lain, apalagi engkau!"

"Mengapa aku diistimewakan?"

Han Ki bukanlah seorang yang pandai bicara, maka dia merasa terdesak di sudut, setelah memandang gadis itu dengan pandang mata bingung, dia menarik napas panjang dan menjawab,

"Entah mengapa.... aku.... aku kasihan kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik, amat lihai, sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau pura-pura mengenalku sebagai suhengmu. Sudahlah, mari kau kuantar keluar dari kota agar engkau dapat pergi dengan aman."

Ia menjenguk ke bawah dan melihat pasukan-pasukan pengawal datang mengurung tempat itu, ia menggerakkan tangan berkata,

"Pergilah kalian semua! Biarkan aku sendiri yang mengurus Nona ini!"

Siauw Bwee juga menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa para perwira komandan pasukan memandang Han Ki dengan heran, akan tetapi mereka tidak berani membantah dan pergilah para pasukan pengawal itu.

Harus membujuknya di tempat sunyi, pikir Siauw Bwee, agar tidak terganggu orang lain.

"Baiklah, mari kau antar aku keluar kota." Akhirnya dia berkata.

"Baik, aku akan mengantarmu ke luar kota dan setelah itu engkau harus pergi dan berjanji padaku tidak akan mengacau di kota lagi karena aku akan merasa menyesal sekali kalau aku terpaksa harus melawanmu sebagai musuh."

Pemuda itu lalu memanggil pelayan, membayar makan minumnya lalu meloncat turun dari loteng diikuti oleh Siauw Bwee yang menjadi girang sekali.

Dengan diantar oleh Kam Han Ki, pengawal kepercayaan Bu-koksu, tidak ada seorang pun berani mengganggu Siauw Bwee dan dengan tenang Siauw Bwee berjalan di samping suhengnya keluar dari pintu gerbang utara. Bukan main girangnya hati Siauw Bwee dapat berjalan bersama suhengnya yang diam saja dan melihat betapa para penjaga memberi hormat kepada Han Ki, hatinya terasa perih dan berduka. Biarpun dia berjalan di samping suhengnya, namun Kam Han Ki pada saat itu bukanlah suhengnya, melainkan pengawal nomor satu dari koksu negara.

Akan tetapi baru saja mereka keluar dari pintu gerbang, terdengar suara kaki kuda berderap dan sepasukan pengawal melakukan pengejaran dari belakang. Dari jauh terdengar suara yang amat berpengaruh dan melengking nyaring tanda bahwa yang mengeluarkan suara menggunakan khi-kang yang amat kuat.

"Kam-siauwte, berhenti dulu!"

Han Ki rrenghentikan langkahnya, lalu berkata kepada Siauw Bwee.
"Nona, itu Koksu bersama para pengawalnya datang. Lebih baik kau lekas lari pergi, biarlah aku yang akan membujuknya agar melepaskan engkau dan tidak melakukan pengejaran sehingga tidak terjadi bentrokan antara engkau dan pihak kami."

Siauw Bwee maklum bahwa dalam keadaan kehilangan ingatan ini, Han Ki telah menjadi pengawal yang setia dari Bu-koksu, dan apabila dia menggunakan kepandaiannya melawan Koksu, kesetiaan di hati Han Ki tentu akan memaksa pemuda itu memihak Koksu.

Akan tetapi dia pun maklum bahwa betapapun suhengnya kehilangan ingatan, namun sifatnya sebagai pendekar masih tidak lenyap sehingga suhengnya itu tentu tidak akan membiarkan dia yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak dikenalnya, celaka di tangan Koksu. Kalau dia lari pergi begitu saja, lenyaplah kesempatan baik untuk mernbujuk suhengnya supaya ikut bersamanya.

"Tidak, Suheng. Aku tidak mau pergi, aku hanya pergi kalau engkau suka ikut pergi bersamaku."

"Ehhh? Pergi bersamamu?" Han Ki mengerutkan alisnya, memandang heran. "Kemana?"

"Menemui supekku, seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Aku akan membawamu kesana agar engkau diobati karena engkau menderita sakit hebat, Suheng."

"Ihhh, gila! Siapa yang sakit? Andaikata aku sakit, mengapa engkau hendak bersusah payah benar mengobati aku yang belum kau kenal? Mengapa, Nona?"

Pasukan itu sudah makin dekat dan cepat Siauw Bwee memegang lengan Han Ki sambil berkata,

"Karena aku cinta kepadamu!"

Berubah wajah Han Ki dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia memandang wajah Siauw Bwee seperti orang bingung, akan tetapi sinar matanya berseri seolah-olah dia merasa girang sekali, akan tetapi kembali wajahnya berubah dan alisnya berkerut.

"Engkau main-main, Nona. Ataukah jalan pikiranmu tidak beres? Pergilah dan hindarkan keributan."

Siauw Bwee menggeleng kepala.
"Biar sampai mati terbunuh disini sekalipun, aku tidak akan mau pergi kalau tidak bersamamu!"

"Engkau gadis yang aneh sekali!"

Pada saat itu, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Bu Kok Tai sendiri telah tiba disitu. Pasukan itu terdiri dari dua puluh empat orang pengawal pilihan, dan di samping Bu Kok Tai terdapat pula perwira-perwira pembantu Koksu yang berkepandaian tinggi, di antaranya Ang Hok Ci atau Ang-siucai, Pat-jiu Sin-kauw yang lihai, Thian Ek Cinjin dan beberapa orang perwira tinggi yang lihai lagi.

"Kam-siauwte, apa yang telah terjadi? Aku mendengar bahwa engkau membantu wanita pengacau ini maka aku cepat menyusul. Apa yang telah kau lakukan ini, Siauwte?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar