Ads

Jumat, 15 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 164

"Aku hanya tidak ingin melihat dia mengacau lagi, Bu-loheng. Maka aku membujuknya untuk keluar kota dan jangan menimbulkan keributan lagi. Dia bukan orang jahat, harap kau suka memaafkannya dan membiarkan dia pergi. Nona, harap kau suka pergi, aku percaya bahwa Koksu cukup bijaksana untuk memaafkan engkau seorang gadis muda. Pergilah!" Han Ki membujuk.

"Tidak!" Siauw Bwee membantah. "Suheng, tidak tahukah engkau bahwa engkau telah terkena racun perampas pikiran? Mereka ini adalah musuh-musuhmu, musuh-musuh kita! Suheng, mari kita gempur mereka!"

Mendengar ini, Bu-koksu tertawa bergelak untuk menutupi kekagetannya mendengar tuduhan yang tepat itu.

"Gadis sombong engkau! Ha-ha-ha, yang kau bela ini adalah seorang gadis gila, atau seorang mata-mata musuh yang sengaja hendak main gila dan mempengaruhimu." Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya dan memerintahkan, "Bekuk dia, kalau dia melawan, bunuh saja!"

Thian Ek Cinjin, Pat-jiu Sin-kauw, Ang-siucai dan yang lain-lain telah maklum akan kelihaian Siauw Bwee, maka serentak mereka turun tangan menerjang gadis yang bertangan kosong itu. Juga dua puluh empat orang pengawal sudah menerjang dan mengurung dengan senjata di tangan.

Menghadapi serbuan ini, Siauw Bwee cepat menggerakkan kaki tangannya, dan dalam beberapa gebrakan saja, ilmu gerak kilat kaki tangannya berhasil membuat empat orang pengawal terjungkal sedangkan para perwira yang berkepandaian tinggi cepat melompat mundur memutar senjata. Mereka gentar menghadapi Siauw Bwee yang amat cepat gerakan kaki tangannya itu sehingga tidak tampak oleh mereka bagaimana caranya gadis itu merobohkan empat orang tadi.

"Nona, jangan....! Pergilah....!"

Han Ki berseru bingung. Dia masih berdebar mendengar pengakuan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya, dan kini dia menjadi serba salah.

"Ha-ha-ha, Kam-siauwte. Dia adalah mata-mata musuh yang mengaku sebagai sumoimu, sengaja dia mengacau dan coba kau perhatikan, betapa dia telah berhasil mencuri ilmu silatmu!"

Sambil berkata demikian, kini Bu-koksu sendiri meloncat turun dari kudanya dan ikut menerjang Siauw Bwee dengan senjatanya yang menyeramkan. Senjata Koksu ini sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, yaitu sebatang golok besar yang berat sekali dan punggung golok itu dipasangi gelang-gelang perak yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau senjata itu dimainkan.

"Cring-cring.... sing....!"

Golok itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar ke arah Siauw Bwee.

Gadis ini terkejut. Lawannya bukanlah orang sembarangan, dan kalau dia mengeluarkan ilmu dari Pulau Es, tentu akan menambah kecurigaan Han Ki. Maka dia menahan diri dan cepat menggeser kaki, mainkan gerak kaki kilat yang memungkinkan dia untuk mengelak kesana-sini dengan cekatan sekali. Untuk membalas, dia mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang yang setingkat lebih rendah kekuatannya kalau dibandingkan dengan Im-kang dan Yang-kang yang ia latih di Pulau Es, namun yang mengandung kemujijatan karena tenaga itu dikumpul dari sari hawa bulan dan matahari.

Han Ki berdiri bengong dan kagum. Hawa udara di sekitar tempat pertandingan itu tiba-tiba berubah panas sekali, kemudian menjadi dingin, berganti-ganti dan kembali ada tiga orang pengawal roboh, bahkan Thian Ek Cinjin yang lihai itu terhuyung ke belakang, terpental oleh dorongan hawa dingin sejuk dari tangan kiri gadis itu.

"Kam-siauwte, bantu aku menangkap gadis ini!"

Bu-koksu berteriak dan dia cepat menerjang makin hebat. Tingkat kepandaian Bu-koksu sudah amat tinggi, dan kalau saja Siauw Bwee tidak mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu kepandaian semenjak dia meninggalkan Pulau Es, agaknya Koksu itu merupakan tandingan yang terlalu berat baginya.

Namun, kini Siauw Bwee bukanlah seperti Siauw Bwee dahulu sebelum melakukan perantauan dan mengalami banyak hal yang hebat. Dengan gerak kaki tangan kilat, dia masih mampu mempertahankan diri, meloncat ke sana ke mari dan ketika golok besar Bu-koksu menyambar lehernya, tubuhnya merendah dan menyelinap ke kiri, kakinya menendang ke depan mengenai lutut Ang-siucai sehingga murid dan orang kepercayaan Bu-koksu itu roboh dengan tulang kaki terlepas dari sambungannya.






Dalam detik berikutnya, tangan kiri Siauw Bwee sudah mendorong ke kiri, membuat Pat-jiu Sin-kauw hampir terguling kalau tidak cepat memasang kuda-kudanya yang hebat sambil mengerahkan Thai-lek-kang. Dengan marah, Pat-jiu Sin-kauw lalu melancarkan pukulan Thai-lek-kang dan mainkan Soan-hong Sin-ciang mendesak Siauw Bwee.

Kini Siauw Bwee terkurung oleh Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang ketiganya berusaha merobohkannya dengan serangan-serangan maut, sedangkan di belakangnya, para perwira tinggi lainnya siap untuk menghujankan senjatanya.

Kalau aku mengamuk, mungkin dapat merobohkan mereka, akan tetapi tentu aku akan kehilangan Suheng, sebaiknya aku menggunakan akal untuk menarik bantuannya, pikir Siauw Bwee yang cerdik. Ketika itu, golok Bu-koksu yang merupakan serangan paling berbahaya bagi Siauw Bwee, membabat ke arah pinggangnya. Siauw Bwee meloncat ke atas, menangkis hantaman Thian Ek Cinjin dengan tendangan kakinya, dan dia sengaja turun dengan tubuh miring di depan Pat-jiu Sin-kauw yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, memukul dengan tenaga Thai-lek-kang sekuatnya.

Tubuhnya berjongkok dan angin keras menyambar dari kedua tangannya yang mendorong ke arah dada Siauw Bwee. Gadis ini maklum bahwa pukulan itu amat berbahaya, namun kalau dia mengerahkan sin-kang, dia masih mampu menerimanya, maka dia mengerahkan sin-kangnya, sengaja terhuyung sehingga pukulan itu ia terima dengan bahunya.

"Aduuuhhh....!"

Siauw Bwee mengeluh dan jatuh, terus bergulingan sambil memegangi bahu kanannya yang terkena pukulan Thai-lek-kang. Pada saat itu, Bu-koksu mengejar dengan golok diputar merupakan gulungan yang mengancam jiwa Siauw Bwee. Gadis ini benar-benar amat tabah. Dia maklum bahwa kalau suhengnya masih belum mau turun tangan, nyawanya terancam bahaya maut karena dalam bergulingan seperti itu, akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskan diri dari ancaman golok yang terus mengikutinya.

Dia sudah siap, kalau suhengnya tidak juga turun tangan, daripada mati konyol, dia akan mengadu nyawa, berlumba dulu dengan Bu-koksu dan mengirim pukulan maut dengan Im-kang dari Pulau Es!

"Tringgg....!"

Golok itu terpental ke samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget.
"Heiii, Kam-sute.... apa yang kau lakukan ini?" bentaknya.

Akan tetapi Kam Han Ki telah meloncat dan menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh gadis itu berdiri dan dia mengomel,

"Kau keras kepala! Masih juga tidak mau pergi?"

"Tidak! Biar mereka membunuhku, kalau dapat! Engkau pun tidak mempedulikan aku, untuk apa hidup lebih lama lagi?"

Siauw Bwee berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena memang dia bicara dari lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi Han Ki dan tidak berhasil mengobati suhengnya itu berarti dia akan kehilangan Han Ki untuk selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya lagi?

"Kam-siauwte, biarkan aku membunuhnya. Apakah engkau akan mengkhianati aku?"

"Bu-loheng, maafkan aku. Gadis ini tidak waras, biarlah aku membawanya pergi dulu, kelak aku mohon maaf kepadamu!"

Setelah berkata demikian, Han Ki memegang lengan Siauw Bwee dan membawanya meloncat jauh dari tempat itu.

"Siauwte, tahan....!"

Bu-koksu berseru marah dan mengejar bersama pasukannya, namun Han Ki sudah pergi jauh. Setelah pemuda ini mengerahkan gin-kangnya, mana ada yang mampu mengejarnya? Apalagi, Siauw Bwee yang sama sekali tidak terluka itu pun sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga dia tidak menghalangi gerakan suhengnya.

Setelah mereka pergi jauh, Han Ki berhenti dan menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel,

"Engkau sungguh membikin aku kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih maksudmu bersikap seperti ini? Apakah engkau ingin merusak nama baikku? Dan mengapa pula segala sandiwara ini? Aku tahu bahwa kalau kau kehendaki, Bu-koksu sendiri tidak akan mampu membunuhmu!"

Siauw Bwee kagum bukan main. Biarpun ingatannya hilang, suhengnya ternyata amat lihai dan pandang matanya masih amat tajam sehingga dapat melihat permainan sandiwaranya tadi. Dia harus berhati-hati, kalau tidak, suhengnya tentu tidak akan mau ikut bersama dia.

"Sudah kukatakan kepadamu, aku cinta padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku berusaha mengajakmu kepada supekku untuk diobati."

"Kau gila! Aku tidak sakit, aku sehat!"

Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya memperlihatkan bahwa dia benar-benar sehat.

"Bukan badanmu yang sakit, melainkan ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya engkau ini?"

"Tentu saja aku tahu! Aku Kam Han Ki, aku pengawal pertama dari Bu-koksu yang telah melepas budi besar kepadaku dan mengangkat aku sebagai adiknya."

"Hemm, Kam-suheng. Dia itu adalah musuh besar yang hendak mencelakakanmu!"

"Gadis muda, jangan kau bicara sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu negara yang berjiwa pahlawan, seorang gagah perkasa yang amat baik, dan aku berhutang budi kepadanya."

"Baiklah.... baiklah...., akan tetapi, ingatkah engkau siapa ayah bundamu? Ingatkah engkau siapa gurumu? Dimana kau belajar ilmu silat? Ingatkah engkau semua itu?"

Kam Han Ki mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas.
"Aku tidak ingat lagi, akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan Bu-loheng dan engkau? Kenyataannya, dia amat baik kepadaku sedangkan engkau.... aku sama sekali tidak mengenalmu, hanya tahu bahwa engkau seorang gadis muda yang amat lihai dan yang selalu mendatangkan kekacauan dan...."

"....dan yang amat mencintaimu, Kam-suheng! Cobalah kau ingat-ingat, apakah engkau lupa akan Istana Pulau Es? Lupakah engkau bahwa engkau bertahun-tahun menggembleng diri di Pulau Es dan membimbing dua orang sumoimu yang bernama Maya dan Khu Siauw Bwee? Lupakah engkau kepada mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam, kepada Panglima Khu Tek San?"

Mendengar disebutnya Istana Pulau Es dan nama-nama itu Kam Han Ki kelihatan terkejut dan bingung.

"Istana Pulau Es....? Serasa sering aku mendengarnya, tidak asing bagiku, dan nama-nama itu.... seperti pernah kukenalnya.... ah, tidak mungkin, aku tidak ingat lagi."

"Nah, itu tandanya engkau telah kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan orang tuanya? Lupa akan gurunya."

Kam Han Ki menjatuhkan diri duduk di atas batu di hutan itu. Alisnya berkerut, mukanya pucat dan tubuhnya berpeluh karena ia memeras ingatannya. Namun sia-sia belaka, dia tidak ingat apa-apa lagi.

"Orang tuaku? Guruku? Pulau Es? Aihh, Nona, aku benar-benar menjadi bingung. Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku lupa akan orang tua dan guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat lagi...."

"Dan aku adalah seorang diantara kedua sumoimu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah, Suheng.... bertahun-tahun kita tinggal bertiga di Pulau Es, engkau menjadi guruku, juga sahabatku, benar-benar engkau tidak ingat kepadaku lagi...." Siauw Bwee tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan ia menangis tersedu-sedu.

Han Ki menjadi makin bingung.
"Nona.... jangan menangis, engkau membikin aku makin bingung. Biarlah aku tanyakan semua itu kepada Bu-loheng.... dia tentu tahu...."

"Jangan....! Dia itu adalah musuh kita, dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng. Kalau engkau kembali kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu rahasianya, tentu mereka itu akan mencelakaimu!"

"Ha-ha, jangan menyangka yang bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku, satu-satunya orang yang amat baik kepadaku. Dia telah menolongku, merawatku, memberiku kedudukan tinggi dan kepercayaan."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar