Ads

Jumat, 15 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 165

"Kam-suheng, kau kasihanilah aku. Kau turutlah bersamaku untuk diobati oleh supekku. Supek Coa Leng Bu adalah seorang ahli pengobatan yang lihai, dia tentu akan memulihkan ingatanmu dan engkau akan dapat mengingat segala hal yang telah lalu, yang telah kau lakukan. Marilah, Suheng, dia menanti di hutan pohon pek, marilah...."

Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan ditarik-tariknya. Akan tetapi Han Ki mempertahankan diri dan akhirnya berkata,

"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Nona. Akan tetapi, amat tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng begitu saja. Pula, aku akan menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu kepadanya. Kalau dia tidak dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan menerima pengobatan supekmu."

Tiba-tiba Siauw Bwee melepaskan tangan Han Ki.
"Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan pergi pula ke sana menemui Bu-koksu."

"Heh? Susah payah kau kularikan, sekarang hendak kembali? Apa kau mencari mati?"

"Biarlah. Aku akan mengamuk dan membunuh Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati. Lebih baik mati daripada hidup melihat engkau menjadi boneka hidup, lupa akan segala hal yang lalu. Sekarang kau pilih saja mau ikut bersamaku untuk pengobatan atau aku akan mengamuk dan mengadu nyawa di gedung Bu-koksu!"

"Wah, kau mengancam?"

"Benar, soalnya hanya mati atau hidup bagiku!"

"Tsk-tsk-tsk, kau benar-benar seorang gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya untuk diriku seorang?"

Pandang mata Siauw Bwee menjadi lembut, kekerasaannya luntur dan dengan air mata berlinang dia memegang tangan Han Ki, berkata lirih,

"Karena aku mencintaimu, tak tahukah kau? Keadaanmu yang lupa ingatan memberanikan hatiku untuk mengaku terus terang, Suheng. Aku cinta padamu dengan seluruh badan dan nyawaku!"

Han Ki menggeleng-geleng kepala, bingung.
"Engkau seorang dara jelita yang gagah perkasa, mencinta seorang seperti aku? Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang yang hilang ingatan, berarti orang yang otaknya miring, tidak waras lagi!"

"Apa pun yang terjadi denganmu, aku tetap mencintamu, Suheng."

"Aihhh...., apa yang dapat kulakukan sekarang? Menghadapi engkau lebih sukar daripada menghadapi ribuan orang lawan bersenjata, Nona. Baiklah, mari kita coba apakah benar aku kehilangan ingatan dan dapat disembuhkan oleh supekmu. Akan tetapi, ingatlah engkau, jangan main-main denganku. Kalau engkau menipuku, aku.... aku akan...."

Siauw Bwee mendekatkan tubuhnya, mukanya ditengadahkan, penuh tantangan, matanya bersinar-sinar.

"Engkau akan apakan aku, Suheng....? Membunuhku?"

Han Ki gelagapan. Biarpun dia tidak ingat siapa adanya gadis ini, namun ada sesuatu yang amat menarik dari diri gadis ini yang membuat dia diam-diam mengherankan hatinya sendiri. Apakah dia telah menjadi benar-benar gila dan jatuh cinta kepada gadis yang nekat ini?

"Tidak! Aku hanya akan.... akan.... membencimu!" akhirnya dia menjawab juga.

Siauw Bwee menggandeng lengan suhengnya dan merapatkan tubuhnya dengan sikap manja.

"Itu tandanya bahwa engkau cinta kepadaku, Suheng. Marilah, dan kalau aku menipumu, tidak usah engkau membenciku, aku sendiri akan membenciku bahkan kalau Supek gagal, aku akan membenciku sampai aku mati dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu yang pasti akan kuamuk sampai titik darahku terakhir!"

Han Ki bergidik. Tekad gadis ini luar biasa sekali dan tentu ada apa-apanya di balik sikapnya itu. Andaikata benar peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hendak menipunya, andaikata dia dibawa ke dalam perangkap, dia tidak takut dan percaya bahwa dia akan mampu mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut sendiri kalau-kalau gadis ini benar seorang penipu, karena kalau ternyata demikian, dia akan merasa amat berduka dan kecewa dan.... kehilangan.






Seorang kakek yang bertelanjang kaki menyambut mereka di dalam hutan pek. Melihat gadis itu berhasil membawa Han Ki yang kelihatannya curiga dan ragu-ragu, Coa Leng Bu girang bukan main.

"Ah, sungguh girang hatiku melihat engkau berhasil mengajaknya kesini, Lihiap. Kam-taihiap, selamat datang!"

Biarpun ingatannya lenyap, Han Ki masih belum kehilangan kesopanannya. Kalau di tempat Bu-koksu dia bersikap tidak acuh adalah karena dia tidak suka melihat sikap anak buah Bu-koksu, maka dia bersikap acuk tak acuh dan hanya karena sayang dan berhutang budi kepada Bu-koksu saja yang mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah kakek yang tenang dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian sekedarnya, dia cepat menjura dengan hormat dan berkata,

"Tidak tahu, siapakah Locianpwe yang telah mengenal namaku?"

"Ha-ha-ha, Kam-taihiap terlalu menghormat seorang bodoh seperti aku dengan menyebut Locianpwe. Aku bernama Coa Leng Bu dan karena sumoimu, Khu-lihiap ini diangkat anak oleh suteku, maka aku menjadi supeknya, supek dalam sebutan saja yang membuat aku malu, karena dalam hal kepandaian, aku boleh berguru kepadanya. Kam-taihiap, aku mengenalmu karena keterangan sumoimu dan kulihat bahwa engkau terkena racun yang membuat ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka kalau engkau percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu, Kam-taihiap."

Han Ki mengerutkan alisnya.
"Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi lupa sama sekali akan hal-hal yang lalu, akan tetapi aku sungguh tidak mengenal Nona ini yang menganggap aku sebagai suhengnya. Yang kukenal hanyalah kakak angkatku, Bu-loheng...."

Dengan wajah penuh ketenangan Coa Leng Bu berkata,
"Aku mengerti Taihiap. Kau anggap sajalah bahwa engkau belum mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik angkat Koksu. Akan tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami berniat baik, karena aku melihat engkau menderita lupa ingatan karena racun perampas ingatan, maka anggap saja bahwa engkau berada di antara teman-teman yang hendak berusaha mengobatimu."

"Heran sekali, aku merasa sehat, akan tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi rasanya tidak mungkin kalau engkau, terutama Nona ini hendak menipuku. Baiklah aku akan menurut dan suka kau obati, harap lekas memberi obatnya dan hendak kulihat apakah aku akan dapat mengingat riwayatku yang telah kulupakan sarna sekali."

Coa Leng Bu menggeleng-geleng kepalanya.
"Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui makanan atau minuman, sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus sedikit demi sedikit dan memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar bahwa penyakit datang menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura, kalau datang cepat sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama."

"Berapa lama engkau akan dapat menyembuhkan aku, Locianpwe?"

"Pertama-tama, kuharap Taihiap jangan menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup kalau kau sebut lopek saja. Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat menyembuhkanmu, bukanlah hal mudah dan aku tidak berani bilang sebelum memeriksamu. Bolehkah aku memeriksamu, Taihiap?"

"Silakan,"

Han Ki menjawab dan biarpun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia mulai khawatir dan percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya adalah bahwa, seperti yang dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama sekali akan riwayat hidupnya, lupa akan ayah bundanya dan lupa akan gurunya. Hal ini memang tidak mungkin terjadi kalau dia tidak menderita sakit kehilangan ingatan!

Coa Leng Bu mempersilakan Han Ki rebah telentang di atas rurnput, kemudian ia mulai memeriksa denyut nadi, mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan membuka kelopaknya.

"Taihiap, kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu untuk diperiksa."

"Silakan!" Han Ki menjawab.

Dengan sebatang jarum emas, kakek itu menusuk ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga ada beberapa tetes darah keluar dari luka kecil itu. Darah itu ditampungnya di atas sehelai daun yang berwarna putih, kemudian dibawanya ke tempat panas sehingga dia dapat memeriksa dengan jelas di bawah sinar matahari.

Darah itu diperiksa, diamat-amati, dicium, bahkan dijilat dengan lidahnya. Semua perbuatannya itu diikuti penuh perhatian oleh Han Ki yang sudah membereskan pakaian dan duduk kembali di atas rumput, sedangkan Siauw Bwee tak pernah melepaskan pandang matanya dari suhengnya dengan hati penuh keharuan.

Menyaksikan sikap pemuda ini yang berubah sama sekali seolah-olah dia menghadapi seorang asing, akan tetapi wajah, bentuk badan dan setiap gerak-gerik pemuda itu dari matanya mengerutkan alis, sinar matanya yang tajam itu, mulut yang membayangkan kedukaan, dia tidak meragukan lagi bahwa pemuda ini adalah suhengnya. Diantara sejuta orang pemuda, tak mungkin ada satu yang menyamai suhengnya itu!

"Bagaimana, Coa-lopek?" Han Ki bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.

"Tidak berat, bukan?" Siauw Bwee juga bertanya.

Coa Leng Bu menghela napas panjang.
"Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan.... ahh, aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!"

Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya.

"Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas tidakkah dapat dilawan dengan tenaga Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannya. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?"

Coa Leng Bu menggeleng kepala.
"Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak baleh digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat penting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh dilakukan!"

"Habis, bagaimana....?" Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! "Eh, Coa-supek, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?"

"Kam Bu Sin....? Ayahku....? Nona, apa yang kau katakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin....?" Han Ki berkata bingung.

Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan.

"Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mujijat dan sungguhpun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersamadhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biarpun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk."

Kam Han Ki menghela napas panjang.
"Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, akupun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku."

"Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar