"Suheng, mari kau bantu kami....!"
Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik tangan Han Ki.
"Nona, harap kau hentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja."
"Aihhh, engkau memang suhengku! Habis disuruh menyebut apa?" Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa diantara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
"Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!"
Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.
"Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!"
"Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu."
"Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua daripada aku!"
"Banyak lebih tua!" kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. "Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!"
"Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?"
Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung.
"Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...."
"Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!"
"Engkau gadis yang manis, dan nakal!" Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. "Akan tetapi.... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...."
"Aku kenapa?"
Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.
"Kau bicara tentang.... cinta....! Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!"
"Siapa yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?"
Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biarpun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?
"Eh, Suheng.... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?"
Siauw Bwee sudah berlutut dekat suhengnya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapapun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
"Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya...., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...."
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing.
"Suheng.... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka, kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kau dukakan?"
Han Ki menggeleng kepala.
"Aku tidak menyusahkan apa-apa."
"Apakah engkau khawatir?"
"Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku."
"Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?"
Kembali Han Ki menggeleng.
"Sepanjang yang teringat olehku, tidak."
Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.
"Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?"
Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.
"Ah, kenapa kau sebut permainan pikiran, Lopek?" Han Ki bertanya.
"Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kau katakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?" Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
"Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri.
Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya.
Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadi maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?"
Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu?
Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang, pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.
Akan tetapi, pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biarpun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya.
Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu. Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyaalah permainan pikiran saja, yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga mengangguk-angguk, karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak,
"Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?"
Kakek itu tersenyum maklum.
"Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?"
"Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...."
"Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau.... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan.
Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih."
"Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!" Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. "Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!"
Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik tangan Han Ki.
"Nona, harap kau hentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja."
"Aihhh, engkau memang suhengku! Habis disuruh menyebut apa?" Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa diantara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
"Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!"
Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.
"Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!"
"Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu."
"Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua daripada aku!"
"Banyak lebih tua!" kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. "Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!"
"Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?"
Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung.
"Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...."
"Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!"
"Engkau gadis yang manis, dan nakal!" Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. "Akan tetapi.... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...."
"Aku kenapa?"
Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.
"Kau bicara tentang.... cinta....! Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!"
"Siapa yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?"
Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biarpun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?
"Eh, Suheng.... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?"
Siauw Bwee sudah berlutut dekat suhengnya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapapun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
"Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya...., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...."
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing.
"Suheng.... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka, kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kau dukakan?"
Han Ki menggeleng kepala.
"Aku tidak menyusahkan apa-apa."
"Apakah engkau khawatir?"
"Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku."
"Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?"
Kembali Han Ki menggeleng.
"Sepanjang yang teringat olehku, tidak."
Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.
"Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?"
Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.
"Ah, kenapa kau sebut permainan pikiran, Lopek?" Han Ki bertanya.
"Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kau katakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?" Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
"Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri.
Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya.
Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadi maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?"
Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu?
Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang, pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.
Akan tetapi, pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biarpun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya.
Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu. Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyaalah permainan pikiran saja, yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga mengangguk-angguk, karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak,
"Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?"
Kakek itu tersenyum maklum.
"Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?"
"Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...."
"Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau.... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan.
Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih."
"Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!" Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. "Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar