Ads

Sabtu, 16 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 167

Kakek itu tersenyum.
"Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka.

Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga."

"Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga daripada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...." Han Ki berseru, penuh kagum.

Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada terselip KEINGINAN dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH KEBEBASAN, maka engkau akan gagal, Taihiap.

Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan BEBAS disini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betapapun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih.

Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka.... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!"

Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.

Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun, dan gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu.

Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu. Namun, Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu, yang sudah bertahun-tahun berlatih sin-kang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin daripada bersamadhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sin-kang.

Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan samadhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok dimana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.

Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan diantara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan!

Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apalagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!






Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suhengnya duduk disitu sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap.

Sudah seminggu lebih Han Ki berobat namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biarpun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.

Han Ki menggeleng kepala.
"Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua."

"Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kau lihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan ini?"

Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah diantara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suhengnya.

"Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!" Han Ki berseru girang.

"Jadi kau mengenalnya?"

"Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal."

"Apa nama ilmu silat itu?"

"Ini.... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu."

"Hemm.... dan kau lihat ini, Koko!"

Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!

"Aku tahu....! Pukulan sin-kang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!" seru Han Ki.

"Dan ini....!"

Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.

"Ini pukulan mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!"

"Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?" Suara Siauw Bwee agak gemetar.

"Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu."

"Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...."

"Suci?"

Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suhengnya di Istana Pulau Es.

"Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suciku Maya...."

"Hemmm, aku tidak ingat."

"Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?"

Han Ki menggeleng kepala.

"Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?"

Kembali pemuda itu menggeleng kepala.

"Koko...." Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. "Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?"

Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal,

"Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi."

Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.

"Moi-moi...."

Siauw Bwee menoleh.
"Hemmm....?"

"Kasihan engkau....!"

"Mengapa kasihan?"

"Dengan susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?"

Siauw Bwee menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat mengecewakannya.

"Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!"

"Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?"

"Apakah untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andaikata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta."

"Tidak mungkin!"

"Bagaimana tidak mungkin?"

"Cinta timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya diantara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta? Betapa janggalnya!"

"Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?"

Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!

"Eh, hal ini.... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan...., dan aku kasihan kepadamu, aku...., aku senang sekali berkenalan denganmu."

"Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?"

"Mengapa tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku lancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar