Ads

Sabtu, 16 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 169

Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta! Kemudian Siauw Bwee berkata, karena dia maklum bahwa biarpun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya.

"Setelah aku menyalurkan Im-kang, kau sambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau kumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kau salurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu.

Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!"

Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersamadhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya.

Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas. Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati.

Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan samadhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kangnya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.

Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca, akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemujijatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.

Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin, dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suhengnya.

Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat diperdaya dan diminumi racun perampas ingatan.

Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!

"Celaka....!"

Keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.

Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata,
"Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu."

Bu-koksu tertawa,
"Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!"






"Bu-koksu, disana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!"

"Orang sakit?" Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa disana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?"

Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya.
"Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya."

"Ha-ha-ha, kau maksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!"

"Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?"

Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.

"Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!"

"Bu-koksu, harap kau tunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?"

"Jangan banyak cakap! Minggirlah!"

"Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup, menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kau tangkap dan kau seret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apalagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!"

Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa,

"Siapa pun mereka, harus kami tawan!"

Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki, tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.

"Jangan bergerak!" Coa Leng Bu berseru marah. "Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!"

“Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!"

Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram. Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Co"a Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang.

"Desss!"

Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sin-kang yang jauh lebih lihai dan kuat.

"Engkau bosan hidup!"

Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.

Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok, tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau tidak disambar jubahnya oleh Bu-koksu.

Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.

"Terimalah ini!"

Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai), tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar.

Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis. Dia tahu bahwa betapapun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apalagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.

Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa terkena hawa dorongan ini, dia tentu akan roboh, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.

"Dessss!"

Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sin-kang yang dimiliki Coa Leng Bu, akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.

"Cring-cring.... singggg....!"

Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu. Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.

"Crakk!" Pundak Coa Leng Bu terbabat putus!

Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu, dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok.

Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!

Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.

"Crott!"

Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.

Biarpun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini. Bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi, dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar