"Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?"
Para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt.... ciattt!"
Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul disitu.
Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu.
Biarpun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada diantara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.
"Celaka.... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu....!"
Pada sore hari itu, Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen.
Akan tetapi, sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya!
Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya.
Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
"Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yang lebih besar dan yang akan dapat merubah seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?"
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu, Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga,
"Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!"
Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,
"Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?"
Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun diantara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dalam pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir,
"Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!"
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja,
"Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!"
"Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!"
"Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?" Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
"Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!"
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku, akan tetapi dia lebih kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.
"Anjing penjilat, kau kira aku takut padamu?"
Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya.
Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya. Namun, Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mujijat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Setelah memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat sudah menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni!
Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu, menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang keluar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apalagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya, tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu.
Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis.
"Trangggg.... trakkkk!"
Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!
"Keparat....!"
Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhunya, berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.
"Suhu.... lebih baik kita pergi....!" Siangkoan Lee berseru. "Subo sudah terluka....!"
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!" Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt.... ciattt!"
Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul disitu.
Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu.
Biarpun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada diantara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.
"Celaka.... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu....!"
Pada sore hari itu, Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen.
Akan tetapi, sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya!
Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya.
Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
"Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yang lebih besar dan yang akan dapat merubah seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?"
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu, Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga,
"Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!"
Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,
"Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?"
Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun diantara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dalam pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir,
"Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!"
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja,
"Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!"
"Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!"
"Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?" Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
"Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!"
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku, akan tetapi dia lebih kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.
"Anjing penjilat, kau kira aku takut padamu?"
Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya.
Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya. Namun, Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mujijat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Setelah memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat sudah menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni!
Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu, menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang keluar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apalagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya, tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu.
Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis.
"Trangggg.... trakkkk!"
Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!
"Keparat....!"
Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhunya, berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.
"Suhu.... lebih baik kita pergi....!" Siangkoan Lee berseru. "Subo sudah terluka....!"
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar