"Sumoi, setelah segala peristiwa yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es. Bahkan, kembali dan tinggal disana seumur hidupku menjadi cita-cita dan harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal disana seorang diri dengan membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tertahankan olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan Maya-sumoi, akan tetapi dia...."
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suhengnya kalau suhengnya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suhengnya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
"Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...."
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit.
"Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya...." dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?"
"Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta."
"Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?"
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab,
"Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi.... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan diantara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan."
"Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapapun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa diantara kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan diantara kami berdua."
"Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu."
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata,
"Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu."
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoinya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoinya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
"Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat."
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suhengnya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
"Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?"
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk.
"Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?"
"Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?"
"Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!"
Han Ki menarik napas panjang.
"Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya.
"Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah.
"Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh.
"Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan.
"Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai pendapatku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam.
Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
"Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah diantara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
"Aku tidak takut!"
"Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam."
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suhengnya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu!
Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
"Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau lakukan asal saja engkau...."
Melihat keraguan sumoinya, Han Ki bertanya,
"Asal saja aku mengapa, Sumoi?"
"Asal engkau tidak melupakan.... cinta kasih diantara kita...."
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya daripada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya ini. Akan tetapi, disana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
"Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi." Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan,
"Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau.... tentu akan kembali secepatnya kesini, bukan?"
"Dia tentu dan harus mau!"
Jawab Han Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya!
Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta Han Ki. Betapapun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suhengnya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.
Berkerut alis Siauw Bwee mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suhengnya kalau suhengnya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia akan merasa senang sekali kalau suhengnya tidak pernah mendapatkan kembali ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan orang lain!
"Kam-suheng, apakah Suheng lupa akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es, apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci membenciku...."
Han Ki menggeleng kepala dan tersenyum pahit.
"Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya...." dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Hanya karena dia mencintaimu maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar tidak menjadi penghalang bagi cintanya?"
"Sumoi, engkau tentu maklum betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi, celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling mencinta."
"Kam-suheng, katakanlah sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?"
Han Ki memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan menjawab,
"Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi.... harap engkau jangan besikap seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan diantara kita bertiga karena hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan."
"Suheng, kita sama mengetahui bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapapun beratnya bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa diantara kami berdua yang kau cinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan diantara kami berdua."
"Sumoi, kita tunda dahulu urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es. Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu."
Siauw Bwee merasa terdesak. Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata,
"Hemmm, agaknya engkau yang lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak kalau dia melihat aku bersamamu."
Han Ki mengangguk-angguk. Memang tepat kata-kata sumoinya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya untuk membujuk Maya kalau sumoinya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
"Baiklah, Sumoi. Mari kita segera berangkat."
Dua orang itu segera mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suhengnya dengan suara bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
"Suheng, engkau agaknya berkeinginan keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?"
Wajah Han Ki berseri mendengar ini, kemudian dia mengangguk.
"Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat membalas dendam telah padam di hatimu?"
"Sumoi, kita tidak boleh melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman. Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kau anggap musuh besarmu, yang mendatangkan dendam sakit hati padamu?"
"Siapa lagi kalau bukan manusia jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!"
Han Ki menarik napas panjang.
"Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kau anggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kau anggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya.
"Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah.
"Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh.
"Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan.
"Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kau dengar tadi kau sebut sebagai pendapatku dan kau anggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam.
Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
"Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah diantara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kau anggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
"Aku tidak takut!"
"Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam."
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suhengnya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu!
Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
"Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kau lakukan asal saja engkau...."
Melihat keraguan sumoinya, Han Ki bertanya,
"Asal saja aku mengapa, Sumoi?"
"Asal engkau tidak melupakan.... cinta kasih diantara kita...."
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya daripada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya ini. Akan tetapi, disana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
"Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi." Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan,
"Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau.... tentu akan kembali secepatnya kesini, bukan?"
"Dia tentu dan harus mau!"
Jawab Han Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan.
Dia maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya!
Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta Han Ki. Betapapun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suhengnya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.
**** 173 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar