Ads

Minggu, 17 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 172

"Hemmm, akan tetapi Si Rambut Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku."

Bu-koksu mengomel dan hatinya yang mengkal dan kesal itu membuat dia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.

Sementara itu, Kam Han Ki memandang sumoinya yang kini berdiri di sampingnya, berkata,

"Sekarang aku ingat semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan.... dan...."

Tiba-tiba mukanya berubah merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoinya yang berkali-kali menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa dalam keadaan "lupa diri" dia pun membalas cinta sumoinya itu.

Akan tetapi karena disitu terdapat banyak orang, tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata mereka yang saling bicara banyak. Saling pandang yang penuh arti dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat.

Begitu melihat Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun, karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti, penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata,

"Saya menghaturkan selamat atas pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee."

Kam Han Ki memandang kepada pemuda tampan itu.
"Hemm, siapakah engkau?"

"Suheng, dia adalah seorang.... sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari.... dari.... ahhh, Coa-supek....!" Siauw Bwee teringat akan supeknya dan menangis tersedu-sedu.

"Heiii.... ada apakah, Sumoi?" Han Ki bertanya.

"Khu-lihiap.... apa yang terjadi dengan Coa-suheng?"

"Dia mati terbunuh.... tentu oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan pohon pek...."

"Suma Hoat?" Kam Han Ki berseru kaget dan memandang pemuda tampan itu.

Suma Hoat menjura ke arah Han Ki dan berkata,
"Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang.... hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang.... tidak baik pula."

Kam Han Ki mengerutkan alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong sumoinya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata,

"Saya merasa berterima kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biarpun aku tidak melihat sendiri, aku dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu."

"Ah, diantara orang sendiri perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami lewat disini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami turun tangan menentangnya," kata Pek-mau Seng-jin.

Kam Han Ki memandang kakek berambut putih itu dan berkata,
"Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah Locianpwe?"






"Kam-taihiap, dia adalah Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami."

Pangeran Dhanu memperkenalkan. Kam Han Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata,

"Sudah lama saya mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal."

Pek-mau Seng-jin cepat mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata,

"Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang sejak dahulu berdarah pahlawan, selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah."

Kam Han Ki tersenyum pahit dan menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang,
"Banyak terima kasih atas perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara."

Pek-mau Seng-jin mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri,

"Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat, itulah tanda-tanda bahwa negara akan hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak membutuhkan tenaga Taihiap, sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan, Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh tenaga bantuan Taihiap."

Dibakar dengan kata-kata demikian, Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biarpun dia sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan ketidak adilan itu.

"Pek-mau Seng-jin, apa engkau kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di antara orang-orang kang-ouw?" Siauw Bwee membentak.

Pek-mau Seng-jin terkejut sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi pun masih belum menyadarkannya.

"Maafkan saya yang telah tua dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona yang telah mengenal saya?"

"Pek-mau Seng-jin, lupakah engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak ke dua adalah aku sendiri, anak dari Panglima Khu Tek San."

Sekarang teringatlah Pek-mau Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu, peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!

"Aaahhhh....!"

Pek-mau Seng-jin tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.

"Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena betapapun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah, pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Diantara kita tidak ada sangkut-paut lagi!"

Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin. Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan membuat senjatanya terpental, sudah cukup membuktikan betapa hebat sin-kang pemuda itu. Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata,

"Kalau begitu, kita berpisah disini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa diantara kita yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama."

Han Ki menggigit bibirnya, tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu, dan memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada rombongan yang pergi, meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.

Dapat dibayangkan betapa malu rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biarpun tidak ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biarpun telah diperlakukan penuh penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa. Adapun dia, karena terpaksa oleh ayahnya, biarpun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan dalam Kerajaan Sung, kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw Bwee!

"Biarlah aku pergi lebih dulu mengurus jenazah Coa-suheng."

Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan sepasang orang muda yang sakti itu. Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu, sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini melihat suhengnya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan, hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.

Kini mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata. Teringat akan cinta kasih diantara mereka pada waktu Han Ki belum sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh.

Sinar mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoinya? Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum sembuh, suhengnya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.

Han Ki menghela napas panjang.
"Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita, semua untuk menolongku belaka."

"Aihh, Suheng. Diantara kita, mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di sana."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar