Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang itu adalah Suma Hoat! Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata.
Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah diantara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri diantara mereka dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya.
Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
"Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!" Maya membentak nyaring.
"Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?"
"Suma Hoat, mulutmu palsu!" Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. "Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!"
"Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur disini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...."
"Jangan sebut-sebut nama guruku!" Maya membentak.
Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!
"Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri...."
"Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!"
Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
"Trang-cring-trang....!"
Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.
"Sumoi....!"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.
"Suheng....!"
Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.
"Kam-siauwte....!"
Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.
"Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati daripada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?"
"Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!"
"Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?"
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata,
"Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku.... engkau...." Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.
"Krekkk!" Pedang itu patah berkeping-keping dan dibuangnya ke atas tanah.
"Lihat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini, dan akan mengamuk terus sampai mati!"
"Ohhhh....!"
Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata,
"Sumoi, mari ikut aku pergi....!"
Tubuhnya berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.
"Kam-taihiap, tunggu....!"
Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap. Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang diantara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh cinta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak oleh penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!
Perang berlangsung terus biarpun Maya telah pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh.
Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.
Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah diantara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri diantara mereka dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya.
Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
"Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!" Maya membentak nyaring.
"Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?"
"Suma Hoat, mulutmu palsu!" Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. "Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!"
"Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur disini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...."
"Jangan sebut-sebut nama guruku!" Maya membentak.
Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!
"Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri...."
"Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!"
Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
"Trang-cring-trang....!"
Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.
"Sumoi....!"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.
"Suheng....!"
Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.
"Kam-siauwte....!"
Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.
"Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati daripada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?"
"Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!"
"Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?"
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata,
"Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku.... engkau...." Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.
"Krekkk!" Pedang itu patah berkeping-keping dan dibuangnya ke atas tanah.
"Lihat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini, dan akan mengamuk terus sampai mati!"
"Ohhhh....!"
Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata,
"Sumoi, mari ikut aku pergi....!"
Tubuhnya berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.
"Kam-taihiap, tunggu....!"
Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap. Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang diantara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh cinta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak oleh penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!
Perang berlangsung terus biarpun Maya telah pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh.
Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.
**** 177 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar