Setelah kini tubuhnya, mukanya, menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian berteriak-teriak,
“Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
Sie Liong yang mulai marah itu memandang dengan mata mencorong.
“Kalian orang-orang jahat!”
Bentaknya dan suaranya melengking nyaring, kemudian dia mulai membalas dengan pukulan-pukulan seperti yang pernah dipelajarinya dari Bi Sian.
“Plakkk!”
Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan pukulan si muka hitam mengenai dadanya, akan tetapi dia membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke arah leher putera komandan itu.
“Desss!”
Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, akan tetapi terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka.
Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!”
Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal lehernya, sudah bangun lagi dan dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan.
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau menerima lagi pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama “Dua Tihang Penyangga Langit”. Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.
“Dukkk!”
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya dan pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya “terbuka” sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya, dan kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu, ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga diapun menyeruduk ke depan! Kepalanya mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!” Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang sudah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanan yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian dan kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian.
Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk. Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka....” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan diapun dengan lembut menarik kedua tangannya dan membuang muka.
“Ahhh.... sudahlah, Bi Sian. Dimana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapapun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku....!”
“Kenapa ayah harus marah? Bukankah engkau telah menolongku, paman? Biar aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu, jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan agar aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu.
“Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi....”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya.
“Tidak, tidak berapa nyeri....”
“Paman, kalau aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lembam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa mukanya akan mudah kelihatan bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya....? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walaupun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal menganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biar kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tidak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aih! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Eh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
“Sie Liong! Engkau telah berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?”
Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak. Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata,
“Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri.
“Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakitan, lalu berkata,
“Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan.
Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa? Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aiih!”
Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan diantara mereka pernah timbul percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, diantara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut,
“Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya.”
“Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ah, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
Sie Liong yang mulai marah itu memandang dengan mata mencorong.
“Kalian orang-orang jahat!”
Bentaknya dan suaranya melengking nyaring, kemudian dia mulai membalas dengan pukulan-pukulan seperti yang pernah dipelajarinya dari Bi Sian.
“Plakkk!”
Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan pukulan si muka hitam mengenai dadanya, akan tetapi dia membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke arah leher putera komandan itu.
“Desss!”
Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, akan tetapi terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka.
Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!”
Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal lehernya, sudah bangun lagi dan dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan.
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau menerima lagi pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama “Dua Tihang Penyangga Langit”. Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.
“Dukkk!”
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya dan pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya “terbuka” sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya, dan kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu, ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga diapun menyeruduk ke depan! Kepalanya mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!” Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang sudah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanan yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian dan kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian.
Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk. Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka....” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan diapun dengan lembut menarik kedua tangannya dan membuang muka.
“Ahhh.... sudahlah, Bi Sian. Dimana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapapun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku....!”
“Kenapa ayah harus marah? Bukankah engkau telah menolongku, paman? Biar aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu, jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan agar aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu.
“Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi....”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya.
“Tidak, tidak berapa nyeri....”
“Paman, kalau aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lembam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa mukanya akan mudah kelihatan bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya....? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walaupun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal menganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biar kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tidak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aih! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Eh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
“Sie Liong! Engkau telah berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?”
Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak. Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia berkata,
“Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri.
“Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu mukanya bengkak-bengkak dan kelihatan kesakitan, lalu berkata,
“Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Ketika kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan.
Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa? Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tidak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aiih!”
Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri. Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan saja sahabat baiknya, bahkan diantara mereka pernah timbul percakapan tentang memperjodohkan anak masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Biarpun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberitahu hal itu, diantara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi! Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut,
“Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia malah memukuli paman Liong bersama teman-temannya.”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar