Ads

Minggu, 24 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 007

Dua orang anak yang berjalan berdampingan itu memang merupakan pemandangan yang agak ganjil. Wajah Sie Liong memang tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Akan tetapi tubuhnya yang melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin membesar, membuat dia nampak pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang seperti lengan monyet.

Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba dalam hati orang yang memandangnya.

Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya manis sekali, terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, dan bentuk tubuh yang masih kekanak-kanakan itupun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh seorang wanita yang indah. Kalau dara cilik ini diumpamakan setangkai bunga yang belum mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.

Mereka sudah tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara tiga belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya bermain-main di tepi jalan. Ketika mereka melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa keranjang kosong itu.

Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tidak pernah berani mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal jagoan. Akan tetapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka amat manis dan menarik. Mulailah mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong.

“Nona Yauw, apakah engkau hendak berbelanja ke pasar?” tanya seorang diantara mereka.

Karena pertanyaan itu sopan dan wajar, Bi Sian mengangguk,
“Benar, aku hendak berbelanja ke pasar.”

“Kalau begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”

“Benar, nona Yauw. Daripada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan orang!” kata anak ke dua.

“Nona Yauw,” kata orang ke tiga sambil tertawa. “Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kau jual?”

Tiga orang anak itu tertawa sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena dianggap mereka itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan ia melangkah maju dengan sikap mengancam.

“Kalian ini tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian menantang berkelahi?” bentak Bi Sian dengan sikap galak.

Anak yang paling besar diantara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh jerawat, berusia kurang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi Sian.

“Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu.”

“Siapa butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!”

Dua orang anak laki-laki yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mereka.

“Mari kita pergi dari sini!” katanya.






Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi disitu mulai berkumpul banyak orang yang menonton. Ketika tiga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puteri Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka. Seorang diantara mereka, seorang kakek penjual kuih, menghampiri Bi Sian.

“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”

Bi Sian mengepal tinju.
“Aku tidak takut!”

Sie Liong menghadapi kakek itu.
“Terima kasih, lopek. Kami tidak mencari keributan. Mereka yang tadi mengganggu kami yang sedang berjalan menuju ke pasar.”

Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, merekapun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang belanjaan. Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya membawa keranjang yang kecil dan tidak begitu berat. Barang-barang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul keranjang itu di pundaknya.

Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki mereka. Jarak antara rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya.

Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan kini keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ.

Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun dan sikap mereka seperti jagoan. Anak jerawatan yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang paling depan.

“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.

Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah. Ia melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu.

“Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”

“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya tidak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keranjang itu kepada kami dan kau boleh merangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”

Kemarahan Bi Sian memuncak.
“Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!”

Katanya dan iapun sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan kuat.

“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.

“Aduhh....!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri dan ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! “Nona, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan penasaran.

“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!”

Kata Bi Sian dan ia sudah menerjang maju lagi, sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk menangkap lengannya, jatuh tersungkur dan memegangi perut sambil meringis kesakitan.

“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan merekapun menubruk ke depan.

“Plak-plakk!”

Bi Sian membagi-bagi pukulan dan tendangan, dan lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.

Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang diantara mereka menubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.

“A Cong, cepat kau hajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian.

Biarpun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian agar anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.

Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda, mengganggu bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya.

Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.

“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Sian!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perempuan itu.

Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di kota itu.

“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw kalau sudah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.

Sie Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat sunyi dimana tidak ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis. Walaupun dia belum pernah berkelahi, namun dia mengenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan mengelak, menangkis, memukul, menendang dan sebagainya.

Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan itupun luput! Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak inipun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.

“Dukkk!” Kaki yang menendang itupun tertangkis.

Melihat betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan dapat merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya nyeri.

Temannya yang lebih tua darinya dan memiliki ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.

Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka, gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti tarian. Maka, menghadapi serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan.

Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai merobohkannya.




Pendekar Bongkok Jilid 006
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar