Ads

Minggu, 24 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 006

“Dia akan dapat disembuhkan, oleh obatku dan oleh kekuatan tubuhnya sendiri yang masih murni. Akan tetapi tulang punggungnya itu akan tidak normal pertumbuhannya dan aku khawatir kelak dia akan menjadi seorang yang bongkok.”

“Ahh....!”

Lan Hong menutupi mukanya dengan tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi seorang yang bongkok punggungnya.

Tangan suaminya menyentuh pundaknya dengan lembut.
“Tidak perlu berduka. Biar cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah begitu? Yang penting Sie Liong dapat sembuh dan sehat kembali.”

Sie Liong mendapat perawatan baik-baik dan tepat seperti keterangan tabib pandai itu, Sie Liong dapat sembuh, akan tetapi pertumbuhan tulang punggungnya tidak normal. Dua tahun kemudian sudah nampak betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di punggungnya seperti punggung onta. Dan Yauw Sun Kok diam-diam tersenyum seorang diri, merasa lega dan aman sekarang.

Seorang bocah yang bongkok punggungnya, bagaimanapun juga tidak mungkin akan dapat menjadi seorang yang perlu ditakuti. Rasa takut dapat membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok melakukan kekejaman itu kepada seorang anak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya karena dia takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan mengetahui tentang kedua orang tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam kepadanya.

Sie Lan Hong juga bukan seorang wanita yang bodoh. Biarpun suaminya memberi keterangan bahwa Sie Liong terjatuh menimpa batu ketika mengejar kupu-kupu, dan ketika Sie Liong telah sadar anak itupun dapat bercerita sedikit-sedikit bahwa kupu-kupunya nakal, bahwa dia terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, namun diam-diam Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada suaminya.

Ia tahu bahwa suaminya itu, bagaimanapun juga, masih merasa khawatir kalau-kalau Sie Liong kelak akan mengetahui akan kematian orang tuanya lalu anak itu akan membalas dendam kepadanya. Ia merasa curiga apakah jatuhnya adiknya itu bukan disengaja dan dibuat oleh suaminya!

Akan tetapi ia sudah terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka telah mempunyai seorang anak. Dan andaikata benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang menyebabkan adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak melanggar sumpahnya. Suaminya pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan membuatnya cacat bukanlah pembunuhan. Maka, khawatir kalau ia menuduh tanpa bukti hanya akan merenggangkan kasih sayang antara ia dan suaminya, Lan Hong diam saja dan menahan itu di dalam hatinya.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak laki-lakl berusia tiga belas tahun. Encinya tidak mempunyai anak lain kecuali Yauw Bi Sian yang sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar sebagai seorang anak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam.

Akan tetapi dia rajin sekali bekerja. Dan biarpun punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat dan dia tidak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang guru sastra didatangkan oleh Sun Kok untuk mengajar puterinya, Sie Liong yang ikut pula belajar, dengan cepat sekali dia dapat menghafal semua huruf sehingga guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.

Sun Kok masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang kini menjadi seorang anak yang biarpun pandai membaca dan menulis, namun seorang anak bongkok yang biarpun sehat bertubuh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan hatinya melihat bahwa Sie Liong tidaklah menjadi seorang anak berpenyakitan seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat.

Seringkali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Sepihak dia merasa kecewa melihat anak itu sehat, di lain pihak dia merasa girang karena betapapun juga ia merasa sayang kepada anak itu!

Sie Liong memang seorang anak yang tahu diri. Dia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada cihu (kakak ipar), maka diapun tidak bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah walaupun cihu-nya mempunyai beberapa orang pelayan.

Dan sejak kecil, Bi Sian amat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali kepada pamannya itu. Karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja, maka biarpun mereka itu paman dan keponakan, hubungan mereka amat akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar.






Semenjak Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pelajaran ilmu silat kepadanya. Melihat ini, Sie Liong merasa ingin sekali untuk ikut belajar, akan tetapi selalu cihu-nya melarangnya.

“Sie Liong, engkau harus tahu bahwa keadaan tubuhmu tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu silat dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung dari tengkuk sampai pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menulis.” Demikian Sun Kok pernah berkata.

Mendengar ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri dan mulai saat itu, dia tidak pernah mengemukakan keinginannya belajar ilmu silat.

Akan tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka akan isi hati kawan bermainnya ini, maka iapun tahu benar betapa paman kecil itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua gerakan yang dipelajarinya dari ayahnya kepada Sie Liong.


Dan si bongkok inipun menerimanya dengan amat gembira. Memang dia ingin sekali belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut uluran tangan Bi Sian yang mengajarnya.

Dan ternyata, kecerdasannya membantunya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah menghafal setiap gerakan, bahkan karena bakatnya, dia mampu bergerak lebih lincah dan lebih cekatan dan baik dibandingkan Bi Sian. Tentu saja ada hambatan besar baginya, yaitu kebongkokan tubuhnya. Maka, dalam beberapa gerakan nampak betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Dan kadang-kadang Sie Liong merasa nyeri pada tengkuk dan punggungnya setelah dia berlatih silat bersama Bi Sian.

Setelah Sie Liong berusia tiga belas tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang anak ini telah mempelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian telah menjadi seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan karena ia sejak kecil digembleng ayahnya dan mempelajari samadhi dan latihan pernapasan, maka biarpun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat.

Dua orang anak yang saling mengasihi dan saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat sehingga baik Sun Kok maupun Lan Hong sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Sie Liong yang sehat dan gerakannya yang cekatan, suami isteri itu hanya mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya bekerja, memikul air, menyapu dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.

Akan tetapi akhirnya kemampuannya bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu peristiwa. Semua orang di kota Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu para petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok sehingga dia dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani. Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Biarpun semua orang mengenal Sie Liong sebagai si Bongkok, namun di depan Yauw Sun Kok dan isterinya, tidak ada orang yang berani mengganggu anak bongkok itu, karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.

Pada suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke Pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong yang disuruh encinya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang sudah hampir habis persediannya. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian ikut dan ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak.

Hari itu memang ramai sekali orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang menyambut hari raya Imlek, menyambut “tahun baru” atau munculnya musim semi yang cerah dan mendatangkan berkah bagi para petani melalui sawah ladang mereka.

Seminggu lagi “sin-cia” tiba dan orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan dapur, dan mulai ramai orang memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.

Menyembahyangi abu leluhur merupakan suatu kebiasaan tradisi yang amat kuno di Tiongkok. Tradisi ini mendorong semua orang untuk selalu berbakti setia, dan mencinta sambil menghormati orang tua dan nenek moyang mereka. Bagi kebiasaan tradisi ini, ada tiga macam kebaktian yang tidak boleh ditinggalkan manusia, kalau mereka ingin hidup benar.

Pertama, berbakti kepada Langit dan Bumi, istilah yang kemudian dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan diri kita. Kedua, berbakti kepada ayah ibu, orang tua dan nenek moyang sebagai orang-orang yang telah menghadirkan kita di dunia ini dan kemudian menjadi pemelihara dan pelindung kita, dan ketiga berbakti kepada guru sebagai orang yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kita. Pada masa itu, kalau seseorang tidak memenuhi tiga macam kebaktian ini, dia dianggap sebagai seorang yang murtad, seorang yang berdosa dan jahat!

Jelaslah bahwa menyembahyangi abu leluhur berarti menanamkan rasa hormat, cinta dan bakti kepada orang tua, seolah-olah mengingatkan kita bahwa sampai orang tua sudah meninggalpun kita tidak boleh melupakan cinta kasih dan jasa mereka terhadap kita. Tindakan seperti ini tentu saja memberi contoh yang baik kepada anak cucu kita, seperti suatu peringatan kepada mereka bahwa merekapun wajib mencinta dan menghormati orang tua mereka seperti kita menghormati orang tua kita.

Namun sayang seribu sayang, tujuan yang amat bijaksana dan baik ini seringkali diselewengkan orang. Banyak orang bersembahyang di depan meja abu leluhur mereka dengan suatu pamrih tertentu. Bukan semata untuk menghormat dalam kenangan terhadap orang tua, melainkan sembahyangan itu menyembunyikan pamrih agar mereka yang bersembahyang itu diberkati oleh roh si mati! Ini suatu penyelewengan besar! Bahkan sesudah matipun, orang-orang tua itu kita minta, untuk melakukan sesuatu demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi kita!

Memang, segala tujuan, betapapun baiknya, akan disalahgunakan orang kalau di situ sudah terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, demi kepentingan diri sendiri. Segala sesuatu akan menjadi palsu dan kotor, karena semua perbuatan itu palsu adanya, semata menjadi sarana untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, dalam hal ini tentu saja yang diinginkan adalah demi kesenangan sendiri, demi kepentingan diri sendiri!

Adakah sembahyangan di depan abu leluhur yang dilakukan orang demi penghormatan dan kenangan kasih sayang orang-orang tua itu semata? Tanpa adanya pamrih pribadi itu? Kalau ada, alangkah baiknya!

Hati Sie Liong dan Bi Sian gembira sekali ketika mereka membawa keranjang kosong, pergi ke pasar. Jalan menuju ke pasar itupun ramai, penuh orang berlalu lalang dan wajah mereka rata-rata gembira. Banyak orang sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat orang mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya dengan “Hee, bocah bongkok!” begitu saja.

Namun, Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab mereka semua dengan kata-kata ramah bahwa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang menyebutnya si bongkok itupun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan ramah dan hendak bergurau.

Dia sudah terbiasa mendengar sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri, memang sebutan itu menyakitkan hati. Apalagi kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh bongkok, dan memang sepatutnya disebut si bongkok!

Akan tetapi, setiap kali ada orang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian. Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang dianggapnya suatu ejekan atau hinaan.




Pendekar Bongkok Jilid 005
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar