Ads

Rabu, 04 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 048

Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak dan tangannya memegang sebatang pedang yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!

"Pembunuh keparat, berani engkau kesini?" bentaknya dan secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu.

Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur. Namun, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.

"Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!" kata Sie Liong sebelum dia meloncat keluar dan melenyapkan diri,

"Jahanam, jangan lari!"

Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.

"Jangan, anakku. Jangan kejar dia....! Biarkan dia pergi....!" tangisnya.

Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang.
"Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walaupun pembunuh itu adik kandung ibu...."

Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut iapun kembali ke ruangan dimana jenazah ayahnya dibaringkan.

Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana ia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya? Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini ia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.

Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba disitu. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoinya. Tentu saja dia terkejut bukan main melihat peti mati di ruangan depan. Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.

"Sumoi! Apa yang terjadi! Siapa yang meninggal dunia....?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.

"Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...."

"Ahh....!" Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. "Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar....!"

"Malam tadi.... dia meninggal...."

Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apalagi para tetangga mulai berdatangan melayat. Melihat Ini, Bong Gan lalu menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah dalam peti. Kemudian dia menghampiri lagi sumoinya.

"Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Sakit apakah?"






"Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu."

Bong Gan mengikuti sumoinya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suhengnya duduk.

"Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....."

"Hah....??" Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. "Dibunuh orang? Bagaimana.... siapa....?"

"Pembunuhnya adalah.... pamanku, adik ibu sendiri...."

"Ahh! Pemuda berpunggung.... bongkok bernama Sie Liong itu....?"

Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang.
"Benar, dialah yang membunuh ayahku."

"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!" Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.

"Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, namun tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya dia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Sian-su yang menurut suhu memiliki kesaktian yang amat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan."

"Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekalipun, aku memang akan mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!"

"Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!"

"Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?"

"Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihat, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Mari, kita berangkat sekarang juga!"

Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walaupun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoinya, berdua melakukan perjalanan!

"Kau.... aku tidak berpamit kepada ibumu?"

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka.
"Tidak, ibu melindungi adiknya, lebih baik aku tidak menemuinya sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!"

Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.

Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suhengnya, pergi tanpa pamit, iapun jatuh pingsan. Tidak kuat ia menahan pukulan batin yang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena ia dapat menduga kemana perginya puterinya itu.

Tentu ia hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam! Maka iapun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau ia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahatnya!

Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya, dan setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Kasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong.

Kalau hal ini terjadi habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan lagi kehidupannya penuh dengan penyesalan kalau sampai puterinya membunuh Sie Liong. Ia tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia sudah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimanapun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini ia yakin sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.

**** 048 ****




Pendekar Bongkok Jilid 047
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar