Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi. Terlalu lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya.
Biarpun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tidak nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.
“Ling Ling....!”
Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling, rotinya sudah masak....”
Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia akan dapat mendengarnya.
Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling Ling....!”
Dia memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak nampak bayangan Ling Ling.
“Ling Ling....!”
Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi maupun pakaian kering untuk ganti.
Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian! Wajahnya seketika pucat ketika detak jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya.
Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-jejak kaki! Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali.
Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya! Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyambar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tubuh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja.
Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!” kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka.
Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi, menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi!
Kini mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Ampun.... ampunkan kami....”
Akan tetapi, lengkingan ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa marah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.
“Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?” tanyanya lembut.
“Liong-ko....!”
Ling Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya.
Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit semakin nyaring.
“Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!”
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling, lihat siapa aku....!” katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu.
Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.
“Liong-ko.... ah, Liong-ko....!”
Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.
“Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini....” Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran.
“Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi.... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba mereka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana.... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi....”
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
“Liong-ko, engkau kenapakah? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu parau dan penuh penyesalan.
“Aku telah membunuh mereka....”
Gadis itu memandang heran.
“Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau bunuh! Mereka itu jahat sekali!”
Sie Liong menghela napas panjang.
“Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Membunuh dengan hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!”
“Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.
“Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan mereka?” Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk. “Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Ling, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Sian-su kepadanya.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu. Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.
Penyesalan dan bertaubat tidak akan ada gunanya kalau hal itu datang dari pikiran belaka. Pikiran hanya alat dalam kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang nafsu.
Karena akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul penyesalan dan keinginan bertaubat. Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri. Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasa¬nya hal itu hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu.
Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan! Hanya Tuhanlah yang akan dapat membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah. Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur segala sesuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing.
Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu. Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, keenakan, kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang “ingin” bebas inipun nafsu, dengan harapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak. Maka terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafsu. Jelas tidak mungkin! Selama ada keinginan akan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan merajalela.
Lalu timbul pertanyaan tentunya. Bagaimanakah kita harus melangkah agar kita dapat terbebas dari nafsu? Kita harus berhati-hati karena pertanyaan inipun datang dari nafsu itu sendiri! Karena itu, satu-satunya jalan bagi kita adalah melihat kenyataan! Kenyataannya ialah bahwa pikiran kita bergelimang daya-daya rendah, pikiran kita dikuasai nafsu. Titik! Kita menyerah kepada Tuhan, menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, tanpa membiarkan diri diseret ke dalam keinginan-keinginan ini dan itu. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Kasih!
Biarpun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tidak nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.
“Ling Ling....!”
Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling, rotinya sudah masak....”
Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia akan dapat mendengarnya.
Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling Ling....!”
Dia memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak nampak bayangan Ling Ling.
“Ling Ling....!”
Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi maupun pakaian kering untuk ganti.
Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian! Wajahnya seketika pucat ketika detak jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya.
Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-jejak kaki! Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali.
Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya! Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyambar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tubuh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja.
Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!” kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka.
Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi, menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi!
Kini mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Ampun.... ampunkan kami....”
Akan tetapi, lengkingan ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa marah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.
“Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?” tanyanya lembut.
“Liong-ko....!”
Ling Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya.
Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit semakin nyaring.
“Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!”
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling, lihat siapa aku....!” katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu.
Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.
“Liong-ko.... ah, Liong-ko....!”
Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.
“Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini....” Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran.
“Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi.... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba mereka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana.... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi....”
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!
“Liong-ko, engkau kenapakah? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu parau dan penuh penyesalan.
“Aku telah membunuh mereka....”
Gadis itu memandang heran.
“Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau bunuh! Mereka itu jahat sekali!”
Sie Liong menghela napas panjang.
“Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Membunuh dengan hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!”
“Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.
“Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan mereka?” Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk. “Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Ling, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Sian-su kepadanya.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu. Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan.
Penyesalan dan bertaubat tidak akan ada gunanya kalau hal itu datang dari pikiran belaka. Pikiran hanya alat dalam kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang nafsu.
Karena akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul penyesalan dan keinginan bertaubat. Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri. Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasa¬nya hal itu hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu.
Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan! Hanya Tuhanlah yang akan dapat membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah. Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur segala sesuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing.
Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu. Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, keenakan, kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang “ingin” bebas inipun nafsu, dengan harapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak. Maka terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafsu. Jelas tidak mungkin! Selama ada keinginan akan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan merajalela.
Lalu timbul pertanyaan tentunya. Bagaimanakah kita harus melangkah agar kita dapat terbebas dari nafsu? Kita harus berhati-hati karena pertanyaan inipun datang dari nafsu itu sendiri! Karena itu, satu-satunya jalan bagi kita adalah melihat kenyataan! Kenyataannya ialah bahwa pikiran kita bergelimang daya-daya rendah, pikiran kita dikuasai nafsu. Titik! Kita menyerah kepada Tuhan, menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, tanpa membiarkan diri diseret ke dalam keinginan-keinginan ini dan itu. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Kasih!
**** 34 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar