Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
“Seorang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras, apalagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya.
Kegembiraan gadis itu menular pada Sie Liong. Diapun merasa gembira dan lincah, merasa seolah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka semakin keras berkeruyuk saling bersahutan.
Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian merekapun makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya berdebar aneh. Mengapa mereka berebut saling memilihkan daging terbaik? Mengapa mereka saling mementingkan dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu.
Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian lain kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk menduga sejauh itu.
Kini, perut mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.
“Ling Ling....”
Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi hatinya. Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
“Ya, Liong-ko?”
“Aku heran sekali....”
Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi penasaran.
“Apa yang kau herankan, Liong-ko?”
“Engkau....”
“Eh? Aku kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil. “Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?”
“Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa....”
“Sama dengan aku!” Ling Ling menyambung cepat.
“Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku....”
“Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan....”
“Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan....”
“Cukup!” Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang marah. “Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke manapun engkau pergi....”
Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
“Kenapa, Ling Ling? Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak kau kenal sama sekali?”
“Pada saat itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!”
Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu.
“Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena cacat tubuhku?”
Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya.
“Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Biarpun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu....”
“Memang kenyataannya demikian!” kata Sie Liong, suaranya agak keras.
“Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ygng cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah....”
“.... dan paling buruk?” Sie Liong menambahkan sanbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.
“Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”
Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandengannya, dan dia melihat seorang gadis yang amat cantik manis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia, pandang mata yang bening itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa bergelak.
Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin lama semakin kuat dan anehnya, ia seperti mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu. Seperti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan iapun berteriak dengan gelisah.
“Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?”
Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling Ling....!”
“Liong-ko.... ah, Liong-koko....!”
Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu berahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong. Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.
“Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghidupan yang kejam ini, Liong-ko.”
“Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling.”
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkaupun harus mengaso!”
Pemuda itu tersenyum.
“Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena harus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah, Liong-ko,”
Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena ia merasa lelah sekali dan mengantuk. Begitu ia merebahkan diri miring, iapun pulas. Ia miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru dan sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.
“Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. “Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!”
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya.
“Sudah kucuci tadi!” katanya.
Gadis itu cemberut.
“Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kau kira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kau cuci sendiri!”
Sie Liong mengangguk dan tertawa.
“Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah.
“Seorang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras, apalagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya.
Kegembiraan gadis itu menular pada Sie Liong. Diapun merasa gembira dan lincah, merasa seolah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka semakin keras berkeruyuk saling bersahutan.
Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian merekapun makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya berdebar aneh. Mengapa mereka berebut saling memilihkan daging terbaik? Mengapa mereka saling mementingkan dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu.
Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian lain kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk menduga sejauh itu.
Kini, perut mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.
“Ling Ling....”
Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi hatinya. Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
“Ya, Liong-ko?”
“Aku heran sekali....”
Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi penasaran.
“Apa yang kau herankan, Liong-ko?”
“Engkau....”
“Eh? Aku kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil. “Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?”
“Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa....”
“Sama dengan aku!” Ling Ling menyambung cepat.
“Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku....”
“Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan....”
“Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan....”
“Cukup!” Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang marah. “Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke manapun engkau pergi....”
Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
“Kenapa, Ling Ling? Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak kau kenal sama sekali?”
“Pada saat itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!”
Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu.
“Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena cacat tubuhku?”
Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya.
“Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Biarpun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu....”
“Memang kenyataannya demikian!” kata Sie Liong, suaranya agak keras.
“Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ygng cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah....”
“.... dan paling buruk?” Sie Liong menambahkan sanbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.
“Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”
Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandengannya, dan dia melihat seorang gadis yang amat cantik manis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia, pandang mata yang bening itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa bergelak.
Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin lama semakin kuat dan anehnya, ia seperti mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu. Seperti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan iapun berteriak dengan gelisah.
“Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?”
Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling Ling....!”
“Liong-ko.... ah, Liong-koko....!”
Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu berahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong. Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.
“Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghidupan yang kejam ini, Liong-ko.”
“Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling.”
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkaupun harus mengaso!”
Pemuda itu tersenyum.
“Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena harus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah, Liong-ko,”
Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena ia merasa lelah sekali dan mengantuk. Begitu ia merebahkan diri miring, iapun pulas. Ia miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru dan sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.
“Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya. “Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!”
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya.
“Sudah kucuci tadi!” katanya.
Gadis itu cemberut.
“Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kau kira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kau cuci sendiri!”
Sie Liong mengangguk dan tertawa.
“Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar