“Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan terima kasih!”
Bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu.
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil.
Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.
“Terima kasih....” katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah.
Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas sekali.
Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia!
Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apalagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh.
Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
“Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong memandang padanya dan tersenyum.
“Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar.
“Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam sejenak.
“Lelah....?” terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk.
“Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!”
“Kakimu terasa nyeri?”
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Tidak, tidak nyeri....”
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendangaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar....?” tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
“Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?”
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran,
“Aku? Bohong?”
Sie Liong menganguk dan tersenyum.
“Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?”
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali.
“Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kau namakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa pula maksudnya itu?”
“Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?”
“Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk.”
Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu.
“Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena disini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?”
Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.
“Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan.”
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik.
“Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling....”
“Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Engkaulah satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku....”
“Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam sekali!”
“Tidak, tidak! Aku tidak menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung....”
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih, membuat diapun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
“Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!”
Gadis itu memandang heran.
“Kau sengaja? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga, yang dapat kupercaya dan....”
“Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!”
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah, bagaimana mungkin? Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.
“Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih menyimpan roti tawar, hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi....”
“Ssstttt, di sana ada daging....!”
Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
“Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko.” Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh. “Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum.
“Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kau butuhkan? Katakan saja!”
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan lesu iapun menjawab,
“Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih dan manis....”
Bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu.
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil.
Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.
“Terima kasih....” katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah.
Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas sekali.
Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia!
Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apalagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh.
Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
“Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong memandang padanya dan tersenyum.
“Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar.
“Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam sejenak.
“Lelah....?” terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk.
“Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!”
“Kakimu terasa nyeri?”
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Tidak, tidak nyeri....”
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendangaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar....?” tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
“Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?”
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran,
“Aku? Bohong?”
Sie Liong menganguk dan tersenyum.
“Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?”
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali.
“Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kau namakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa pula maksudnya itu?”
“Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?”
“Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk.”
Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu.
“Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena disini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?”
Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.
“Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan.”
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik.
“Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling....”
“Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Engkaulah satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku....”
“Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam sekali!”
“Tidak, tidak! Aku tidak menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung....”
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih, membuat diapun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
“Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!”
Gadis itu memandang heran.
“Kau sengaja? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga, yang dapat kupercaya dan....”
“Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!”
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah, bagaimana mungkin? Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.
“Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih menyimpan roti tawar, hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi....”
“Ssstttt, di sana ada daging....!”
Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
“Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko.” Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh. “Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum.
“Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kau butuhkan? Katakan saja!”
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan lesu iapun menjawab,
“Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih dan manis....”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar