Melihat wajah sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya kalau mereka telah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan berkobar.
Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan sucinya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.
Gadis ini merasa heran melihat betapa sutenya memandang kepadanya tidak seperti biasa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia tersipu.
“Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya, kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang.
“Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat indah pemandangan disini, indah menyenangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!”
“Aku merasa seperti di sorga, suci!”
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa.
“Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan disini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu....”
“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum.
“Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”
“Karena ada engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang.
“Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sutenya itu.
“Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu....”
“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri....”
“Sute....!!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena ia menganggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.
“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”
Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute....!”
“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, kularang membicarakan tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku....”
“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!
Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun “ada hati” kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan “tidak”, tentu ia tidak akan memberi waktu. Jawabannya jelas “ya”, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian menarik napas lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.
“Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha.”
“Baik, suci,”
Kata Bong Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat sucinya marah atau jengkel.
Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan sucinya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.
Gadis ini merasa heran melihat betapa sutenya memandang kepadanya tidak seperti biasa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia tersipu.
“Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya, kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang.
“Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat indah pemandangan disini, indah menyenangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!”
“Aku merasa seperti di sorga, suci!”
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa.
“Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan disini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu....”
“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum.
“Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?”
“Karena ada engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah. “Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang.
“Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sutenya itu.
“Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu....”
“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri....”
“Sute....!!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena ia menganggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.
“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku.”
Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute....!”
“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, kularang membicarakan tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku....”
“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu.”
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!
Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun “ada hati” kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan “tidak”, tentu ia tidak akan memberi waktu. Jawabannya jelas “ya”, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian menarik napas lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.
“Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha.”
“Baik, suci,”
Kata Bong Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat sucinya marah atau jengkel.
**** 076 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar