Semenjak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tahun, akan tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat.
Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu.
Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya kepada adiknya.
Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai.
Akan tetapi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok!
Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Ia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan....?”
Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya.
Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.
Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya? Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.
Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya.
Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih. Ia hidup kesepian, apalagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.
Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dan satu-satunya tempat dimana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir dimana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa memperdulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran dimana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik.
Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
“Dia tidak bermalam disini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok dan pulang menjelang tengah malam.”
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya,
“Selain itu, apalagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang....”
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.
“Setelah dia minum agak banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok....”
Lan Hong tertarik sekali.
“Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”
“Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”
“Siapakah pemuda itu? Apakah dia.... bongkok?”
Dua orang pelacur itu tertawa.
“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia langganan lama di sini?”
“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal....”
“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,”
Kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang mereka bicarakan.
“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!”
Tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.
“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek....”
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya, membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya.
Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya.
Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik.
Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah. Untung bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri.
Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar menjadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya, ia akan ke¬malaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.
Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu kemana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini.
Dengan hati kecut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lukisan seekor kala putih yang menyeramkan.
“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya.... hebat!”
Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu.
Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya kepada adiknya.
Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai.
Akan tetapi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok!
Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Ia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.
“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan....?”
Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang! Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya.
Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.
Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya? Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.
Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya.
Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih. Ia hidup kesepian, apalagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.
Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Dan satu-satunya tempat dimana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir dimana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa memperdulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran dimana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik.
Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada kunjungannya yang terakhir kalinya itu.
“Dia tidak bermalam disini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok dan pulang menjelang tengah malam.”
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya,
“Selain itu, apalagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang....”
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.
“Setelah dia minum agak banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok....”
Lan Hong tertarik sekali.
“Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”
“Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal.”
“Siapakah pemuda itu? Apakah dia.... bongkok?”
Dua orang pelacur itu tertawa.
“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia langganan lama di sini?”
“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal....”
“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,”
Kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang mereka bicarakan.
“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!”
Tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.
“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek....”
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya, membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya.
Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya.
Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik.
Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah. Untung bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri.
Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar menjadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya, ia akan ke¬malaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi.
Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu kemana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!
Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini.
Dengan hati kecut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lukisan seekor kala putih yang menyeramkan.
“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya.... hebat!”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar