Ads

Selasa, 14 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 071

Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak memperdulikan gadis yang berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah lebar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya.

Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula betapa pernapasan gadis itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh. Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil menatap wajah itu.

Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikitpun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.

“Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa....” tiba-tiba ia menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, “.... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!”

Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, akan tetapi dalam keserdahanaannya, ternyata ia cerdik juga.

“Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan mengingat engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu.”

“Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!” kata Ling Ling gembira.

“Dan ke dua, sekarang engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.” Dia melihat wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat, “Bagaimanapun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit.”

Ling Ling mengangguk, nampak hilang kagetnya.
“Baiklah, Liong-ko.”

Merekapun pergi nenuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling dengan mulut cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera mengeluarkan makian,

“Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!”

“Dasar anak tak tahu diri, tak mengenal budi!” bentak ibu angkatnya. “Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas budi malah melempar kotoran ke rumah kami!”

Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir, matanya membayangkan wataknya yang kurang baik.

Adapun wanita itu beberapa tahun lebih muda, tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh dia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.

“Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik....”

“Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!”

Berkata demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong.

Kalau menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul, memuntirnya dan mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu berguling-guling, mengaduh-aduh.






Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.

“Berani kamu memukul orang....?”

Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang tadi ikut menyerbu ke bukit Onta, mengiringkan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.

“Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok berani melarikan gadis orang!” teriak ayah angkat gadis itu yang menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.

“Heiii! Gumalung.... tutup mulutmu yang kotor itu!”

Bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.

“Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-orang yang jahat!”

Mendengar ini, seketika pucat wajah Gumalung dan isterinya.
“Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan kami....” kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bongkok.

“Sudahlah!” kata Sie Liong membentak dan melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling. “Kalian memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih tidak mempunyai anak, mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak disini untuk membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai bersikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau membencinya. Dan isterinya, yang tak tahu diri ini, bukan menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, benar tidak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terus terang, baru akan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!”

Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berdatangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.

“Memang engkau yang celaka! Engkau suami tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!”

Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar. Suaminya cepat menangkap kedua pergelangan tangan istrinya dan mereka bersitegang. Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa terhuyung ke kanan kiri.

“Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati melihat ia cantik jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!”

“Apa kau bilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!”

Kedua suami isteri itu saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie Liong dengan gerakan tidak sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua suami isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, untuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.

“Taihiap, ampunkan saya....” Wanita itu merengek.

“Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling....” kata sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia menyambung, “Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini....”

“Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kalian!”

“Eh....? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?”

Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar ucapan ini. Mereka memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.

“Tapi, kau tidak bisa meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!” kata pula nyonya gendut itu.

Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya. Maka, diapun lalu berkata dengan suara tegas.

“Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, ia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa berkeberatan?”

“Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya....”

“Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?” bentak isterinya. “Kalau kurang bersih, kau cuci sendiri pakaianmu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena....”

“Karena apa?” Sie Liong mendesak.

Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia berkata,

“.... anak itu sudah delapan tahun bersama kami.... entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya.... pakaiannya....”

Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu.
“Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?”

“Sedikitnya seratus tail perak....”

Terdengar suara orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.

“Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!”

Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan uang, bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!

“Terima kasih!” katanya. “Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku.”

Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.

“Lihat, inilah uang yang telah kau keluarkan untuk Ling Ling!” berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding.

Potongan potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!




Pendekar Bongkok Jilid 070
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar