“Hemmm....!”
Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.
“Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar kesana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?”
Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya. Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya.
“Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi kesana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini, melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku.”
“Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu kemana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?”
Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar ini.
Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara....” jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau begitu, lalu kemana engkau hendak pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?”
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak,
“Aku ingin turut denganmu, taihiap....”
“Ehhh?”
Sie Liong terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.
“Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kau jadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu....”
Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Iapun kini yang memandang bengong.
Pendekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak cerah dan berseri!
“Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu sekali!” kata Sie Liong setelah dia menghentikan ketawanya.
“Taihiap, apanya yang lucu?” Ling Ling bertanya khawatir.
“Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?”
“Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis disini, yang pantas kupuja dan kubalas budinya....”
“Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Aku tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau engkaupun sebatangkara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal, taihiap. Kasihanilah aku....”
“Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau engkau bersamaku.”
“Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Akupun siap mati kalau perlu!”
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia?
“Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput....”
“Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan amat nyaman untuk tidur....”
“Kadang-kadang harus di atas pohon besar....”
“Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas....”
“Ling Ling....” Sie Liong kewalahan. “Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!”
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak dan tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung.
“Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan orang-orang penakut.”
Ling Ling menarik napas lega.
“Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
“Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan terhadap kita.”
“Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik....”
“Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung rintihan.
“Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat.... tinggal....”
Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
“Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi kemana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya.
“Kemana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, kemana lagi? Akupun tidak tahu....” dan iapun melanjutkan langkahnya.
Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong merasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu.
“Ling Ling....” katanya lirih.
“Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku mati saja....” gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri.
“Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.”
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum.
“Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia sekali, terima kasih, taihiap.... terima kasih....”
Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
“Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.”
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorangpun yang berani bertanya.
Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri. Merekapun bubaran dengan hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan selamat.
Nama Pendekar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,” demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.
Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua angkatnya.
“Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu, mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar kesana, ayah angkatmu itu kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?”
Ling Ling mengerutkan alisnya dan ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lamanya. Sinar matanya penuh kegelisahan dan keraguan, kemudian iapun menggeleng kepalanya.
“Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku.... ia amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi kesana. Bahkan, terus terang saja, taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini, melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa gembira untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku.”
“Tapi.... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu kemana engkau hendak pergi? Apakah engkau mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?”
Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu saja dia tidak mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tidak akan mengulang perbuatannya terhadap gadis yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar ini.
Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia tidak akan menjadi buta akan kebenaran? Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak mempunyai siapapun juga di dunia ini, sebatangkara....” jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau begitu, lalu kemana engkau hendak pergi, Ling Ling? Kalau engkau tidak mempunyai keluarga lain, dan engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagaimana?”
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak,
“Aku ingin turut denganmu, taihiap....”
“Ehhh?”
Sie Liong terkejut dan heran bukan main. Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambutpun dia tidak pernah menyangka akan mendengar jawaban seperti itu.
“Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku tidak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku.... aku ingin membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kau jadikan pelayan.... aku akan mencucikan pakaianmu, memasakkan makananmu, melayani keperluanmu....”
Tiba-tiba Sie Liong tertawa dan dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun, mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Iapun kini yang memandang bengong.
Pendekar itu tertawa bergelak dan betapa gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya. Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang menimbulkan perasaan iba kepada siapapun yang memandang, kini nampak cerah dan berseri!
“Aih, Ling Ling.... engkau ini sungguh lucu sekali!” kata Sie Liong setelah dia menghentikan ketawanya.
“Taihiap, apanya yang lucu?” Ling Ling bertanya khawatir.
“Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?”
“Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis disini, yang pantas kupuja dan kubalas budinya....”
“Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatangkara, tidak mempunyai tempat tinggal, miskin dan papa. Dan engkau hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Aku tidak perduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau engkaupun sebatangkara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan melayanimu, membantumu dalam segala hal, taihiap. Kasihanilah aku....”
“Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau akan ikut terancam bahaya kalau engkau bersamaku.”
“Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya mautpun tidak akan membuat aku gentar, taihiap. Akupun siap mati kalau perlu!”
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan dia?
“Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan.... di atas rumput....”
“Hemm, menyenangkan sekali, taihiap. Apalagi di waktu terang bulan, dengan api unggun menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan amat nyaman untuk tidur....”
“Kadang-kadang harus di atas pohon besar....”
“Ah, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari gangguan binatang buas....”
“Ling Ling....” Sie Liong kewalahan. “Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!”
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak dan tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang- orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka. Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung.
“Akan tetapi selama ini belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti anak-anak dan orang-orang penakut.”
Ling Ling menarik napas lega.
“Aku juga.... ti.... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
“Ling Ling, maafkan aku. Bagaimanapun juga, rasanya tidak mungkin engkau ikut denganku. Ingatlah, aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang? Tentu mereka menyangka yang bukan-bukan terhadap kita.”
“Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata dan pendapat orang lain? Yang terpenting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa takut disangka orang! Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu kepadamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik....”
“Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajakmu berkelana menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak. Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung rintihan.
“Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat.... tinggal....”
Dan gadis itupun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak terhuyung.
“Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi kemana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat, matanya tidak ada sinarnya lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu demikian pahitnya.
“Kemana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, kemana lagi? Akupun tidak tahu....” dan iapun melanjutkan langkahnya.
Langkah satu-satu dan dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, lalu bergoyang-goyang, tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong merasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil menangis itu.
“Ling Ling....” katanya lirih.
“Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku mati saja....” gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri.
“Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu.”
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum.
“Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia sekali, terima kasih, taihiap.... terima kasih....”
Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan terima kasih.
“Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.”
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorangpun yang berani bertanya.
Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri. Merekapun bubaran dengan hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan selamat.
Nama Pendekar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,” demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar