Ads

Jumat, 10 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 066

Sie Liong menurutkan jalan setapak yang ditemukannya dalam hutan itu. Ketika membelok di bagian tengah hutan, pada jalan menurun, tiba-tiba saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga.

Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.

Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernih, bagaikan kaca yang berada di depan kakinya demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan hilir mudik.

Di sebelah sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak sedemiktan jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itupun nampak. Tidak ada angin menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu.

Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita!

Wanita itu masih muda, tidak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk bulat telur, dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya yang masak dan padat. Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong dapat melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat ia menjadi semakin menarik.

Gadis itu duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.

Dari keadaan terpesona, Sie Liong kini menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepatutnya, melihat seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah dan diapun cepat membuang muka, bahkan lalu berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.

“Heiii....!”

Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memamdang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Kini gadis itu berdiri sepinggang dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.

“Heii, siapakah engkau? Apakah engkau hendak mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Disini tidak ada orang lain!”

Kedua pipi Sle Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi. Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila, sudah tidak malu dilihat pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.

Kini terdengar gadis itu kembali bicara, dan nada suaranya amat menyesal penuh teguran.

“Engkau ini orang macam apakah? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong engkau! Aku ingin ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang disini?”

Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walaupun dugaan ini dia bantah sendiri. Tak mungkin! Siluman merah itu orang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanya seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andaikata bukan siluman merah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan dimana tempat persembunyian siluman merah.

“Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!”






“Hi-hi-hik!” Gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas. “Kiranya engkau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang bulat? Bukankah ketika engkau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan keasliannya dan keindahan tubuhnya kalau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian dulu. Awas, jangan mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya mencuri-curi, hi-hi-hi!”

Sie Liong merasa mendongkol juga. Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan biarpun matanya tidak melihat, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang benar kini sedang mengenakan pakaian.

“Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau bertelanjang? Lihat baik-baik!”

Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahwa gadis itu kini sudah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walaupun manis dan amat memikat, mengandung kegenitan dan kecabulan! Gadis itu tersenyum.

“Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!”

Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi dimana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andaikata bisapun kepandaiannya tentu masih rendah sekali.

Ketika dari batu terakhir ia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan iapun jatuh miring di atas tanah.

“Aduhhhh.... aduh, kakiku.... sakit....!”

Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuk kakinya di tumit, juga tidak dapat.

Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekalipun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini.

Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini. Dan tadi, dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat tanggapan, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.

“Aduh, tolong....! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhh....!”

Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka menolongnya bangkit.

Sie Liong tersenyum, lalu menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tidak menaruh curiga dan seperti orang yang benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk.

Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu. Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong, ia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat ia sudah merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!

Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar dan tubuhnya tergetar karena betapapun juga, darah mudanya bergolak ketika tubuh yang hangat itu merapat pada tubuhnya.

Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka diapun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya.

Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya, dengan jari-jari terbuka, tangan itu menotok kearah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam. Gadis itu telah mempergunakan pukulan maut!

“Huhh....!” Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.

“Hyaatt....!”

Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher, namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur dan menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!

“Hemm, keji sekali....!” Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itupun luput! Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu berkata dengan nada suara mengejek. “Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!”

Pek Lan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemiktan lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tidak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh tadi. Dan dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!

“Bagaimana.... kau bisa tahu?” tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.

“Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.”

“Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!”

Berteriak demikian, Pek Lan lalu menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi. Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula.

Diam-diam dia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga amat jahat. Maka, diapun cepat mengerahkan sin-kangnya dan sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, diapun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang amat mantap dan dahsyat.

Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja semua serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat!

Dan kalau pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang membuat ia semakin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sin-kangnya kalah kuat. Juga penggunaan hawa beracun agaknya tidak ada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).

Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai-yang Suhu kepadanya, maka diam-diam, sambil sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera, pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan seperti menembus dahi Pendekar Bongkok diantara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.

“Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!”




Pendekar Bongkok Jilid 065
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar